Mengintip Metode Sakti Pendidikan Pesantren

1751
Pasuruan (wartabromo.com) – Sebagai warga kota santri, mungkin belum banyak masyarakat yang “percaya” terhadap pendidikan pesantren. Terbukti, kian hari kian menurun animo masyarakat terhadap lembaga pendidikan tertua di Nusantara ini. Data di lapangan menunjukkan jika sejak satu dasawarsa terahir jumlah santri cenderung menurun jika dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan penduduk usia sekolah. Masyarakat lebih mempercayakan pendidikan keluarga terhadap lembaga pendidikan umum yang –untuk sementara—bisa “menjamin” masa depan karir.
Peta demografis Pasuruan yang sejak lama menyandang predikat Kota Santri, kian hari juga kian terkikis. Beberapa kecamatan yang pada satu atau dua dasawarsa lalu menjadi basis pesantren, kini kian menyempit. Pada era 80 hingga 90-an basis pesantren terbentang antara kecamatan Rejoso hingga Pasrepan. Itu juga artinya, lembaga pendidikan pesantren bertebaran mulai dari kecamatan Lekok, Grati, Rejoso, Gondang Wetan, Pasrepan, Kejayan dan Kraton.
Saat ini, menurut Muhammad Ghufron, sekretaris JQWH NU Kabupaten Pasuruan, pesantren-pesantren besar dengan jumlah santri di atas seribu orang, hanya bertahan di kecamatan Gondang Wetan, Kejayan dan Kraton.
pesantren kuno
“Meski tidak secara langsung JQWH menangani program pengembangan pesantren, kami memiliki data pesantren mana saja yang masih eksis hingga saat ini.” Kata Kepala Madrasah Aliyah Darul Ulum Karangpandan itu. “Masyarakat perlu tahu kelebihan-kelebihan metode pendidikan pesantren dibandingkan pendidikan umum.” Tambahnya.
Muhammad Ghufron menegaskan bahwa metode pendidikan pesantren memiliki kelebihan tersendiri dibanding pendidikan umum karena memiliki ciri khas sebagai berikut.
Pertama, pesantren menggunakan metode pendidikan Full Day Education atau dalam istilah pendidikan umum disebut Full Day School. Pelajar atau santri mengikuti kegiatan pembelajaran hampir dua puluh empat jam penuh. Di pesantren-pesantren salaf, proses pembelajaran rata-rata dimulai sejak dini hari. Para santri sudah melakukan “proses pembelajaran” sejak jam 3 dini hari dengan melakukan sholat tahajjud berjamaah. Pagi hingga siang hari mengkaji kitab kuning, sore hari mengikuti pendidikan diniyyah semi formal dan malam harinya diisi dengan diskusi atau ekstra kurikuler seperti pencak silat, khitobah atau ritual kemasyarakatan hingga menjelang larut malam.
Kedua, pesantren menerapkan pendidikan life skill. Banyak pesantren salaf yang menerapkan bahkan menerapkan secara langsung pendidikan berbasis terapan seperti berdagang, bertani, beternak, membuka usaha penjualan jasa bahkan skil khusus seperti programing computer. Pesantren sebagai sub kultur tersendiri yang membangun serta berinteraksi langsung dengan masyarakat memang memungkinkan untuk model pendidikan seperti itu.
Ketiga, metode pendidikan berbasis spiritual. Hampir setiap saat para santri bejibaku dengan literature-literatur keagamaan dan dalam keseharian mereka memang diharuskan menerapkannya dalam kehidupan nyata. Spiritualitas agama dan kearifan lokal diramu secara cerdas hingga terbentuklah kultur khas pesantren seperti yang sering kita dengar.
Keempat, selain metode pendidikan makro seperti di atas, pesantren juga menerapkan berbagai sub metode pendidikan khas lainnya seperti bahtsul masail (pengggalian hukum syar’i untuk masalah-masalah kontemporer), muhadloroh (public speaking), imla’(mengarang), nadham (menghafal materi pembelajaran dengan lagu), taqror (debat terbuka dan presentasi), haflatul imtihan (pentas seni tahunan), hafadhah (drill), muhadatsah (percakapan bahasa asing), riyadhah (laku spiritual), muthala’ah(mengulang materi) serta kuliah umum dari pengasuh pesantren. Apalagi di pesantren-pesantren modern seperti Al Yasini Wonorejo, Darul Ulum Karangpndan Rejoso, para santri mendapat pendidikan ganda agama dan umum.(zaq/zaq)