Semoga Tuhan Mengampunimu, Penghianatku Sayang…

1433

oknum polisiTuhan tak sekeji yang dituduhkan orang-orang, sayangku. Tuhan –aku yakin—tak bermaksud mempermainkan nasib kita sebagai hiburan dalam “kesendirianNya”. Kitalah yang menzalimi diri kita sendiri, bahkan di luar ambang batas kewarasan manusia normal. Kita begitu rajin mengupayakan kehancuran sendiri, padahal Tuhan sangat mencintai kita, melebihi kemampuan kita mencintai diri kita sendiri. Tuhan bahkan begitu serius mengurus setiap kelenjar syaraf kita.

Mengatur setiap kelenjar hormon meski hormon-hormon itu kita pergunakan demi memperturutkan angkara murka liar kita. Bahkan, Tuhan masih memberi waktu buat kita untuk menghentikan segenap kezaliman yang kita maksudkan untuk menghancurkan diri sendiri.

Kau, kini terasing di bawah pohon kamboja itu setelah orang-orang menemukan tubuhmu yang basah di kamar merah. Kamu meninggalkanku. Meninggalkan anak-anak kita dengan menyisahkan entah dendam entah iba. Entah ratapan entah serapah buat cinta dan penghianatanmu. Aku merasa kehilangan atas kepergianmu. Kau pergi tanpa sepengetahuanku, entah dengan siapa. Lalu, kau takkan pernah kembali. Kau pergi jauh namun tak pernah meninggalkan sepenggal pun kata perpisahan. Kau menyelinap dalam kegelapan maha kegelapan ketika aku berjuang demi sorga yang ingin kita huni bersama. Kau, aku, anak-anak kita. Kau pergi ke sebuah belantara maha angker dengan entah siapa, lalu, kau pulang berkendara keranda.

Baca Juga :   Wiranto : Saya Tidak Ingin Caleg Hanura Menjadi Raja-raja Kecil

Aku, disembelih kesedihan berlipat-lipat. Atas kepergianmu, atas penghianatanmu, atas kesedihan anak-anak kita, atas air mata orang-orang tercinta. Atas aib maha aib yang terpahat di atas nisanmu dan wajahku. Aku tertusuk kepedihan tak terbayangkan atas tragedi maha tragedi ini. Aku berkali-kali berhayal bahwa yang tertulis di koran itu bukan namamu. Namun ketika kueja, itu memang namamu, apalagi kau kembali dengan berkendara keranda.

Sayangku, apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup ini? Sorga yang kita dirikan dengan keringat dan airmata, mengapa masih saja membuatmu tak nyaman? Mengapa kau menyelinap lalu menerobos belukar angker itu. Sementara tak pernah kuterima firasat apapun, bahwa kau mengikat janji dengan seekor srigala yang memangsamu, menikamku serta merampasmu dari orang-orang tercinta kita.

Baca Juga :   8 Terdakwa Pembakaran Maling di Tlogosari Divonis 3 Tahun Penjara

Aku terluka atas kehilanganmu. Aku dendam atas kelicikan pencuri kesetiannmu. Namun, bukankah sebuah penghianatan takkan pernah terjadi jika salah satu di antara dua sekutu tak pernah sepakat untuk menikamku dari belakang? Kita semua bertanggung jawab atas hukuman Tuhan ini. Aku bersalah atas ketololanku yang begitu lugu tak pernah memeriksa pagar di halaman belakang sana. Kau bersalah telah mengadakan perjanjian terlarang. Dan ia bersalah atas rasa lapar dan hausnya yang tak pernah selesai. Bukankah di sarangnya sana ia memiliki daging segar yang bisa ia santap kapan saja. Atau, jika jenuh dengan hidangan rutin, setidaknya ia bisa berburu kijang-kijang kencana yang memang menjual dirinya untuk dikuliti sekeji apa pun caranya?

Baca Juga :   Lagi, Pedagang 'Emperan' Pasar Besar Diobrak

Sayang, kepergianmu adalah sebuah ayat dari Tuhan. Bahwa, sebuah penghianatan, bagaimana pun akan menuai hukumannya –bahkan— di alam raya yang penuh kebusukan ini. Tuhan tak pernah tidur, namun sayangnya, aku harus menikmati luka berlipat dalam; atas kepergian, penghianatan dan ukiran aib yang dipahat di kening dan nisanmu.

Iblis membisiki setiap anak manusia untuk membubarkan sorga yang mereka bangun sendiri. Iblis membisiki kita untuk menyantap bangkai di belantara padahal di meja makan istana kita tersedia daging lezat dan halal. Orang-orang tolol ingin coba-coba mencicipi bangkai penuh belatung dan candu itu. Mereka, orang-orang binal penyembah alat kelamin, menginginkan sebuah petualangan laknat demi daging berbelatung itu. Mereka para maniak yang selalu kelaparan jika tak menyantap bangkai, memperturutkan sensasi gelegak andrenalin dan testosteron demi ilusi-ilusi syaitoni.