Menyoal Keterbukaan Informasi Publik

1069

Ini bisa terjadi karena tidak ada keseriusan pejabat publik untuk merumuskan secara teliti berdasarkan UU tentang dokumen yang dikecualikan sekaligus mengumumkan secara detail informasi publik dan informasi yang dikecualikan. Sehingga, sering kali masyarakat kecewa ketika meminta informasi publik ternyata yang diminta dianggap sebagai informasi yang dirahasiakan. Pada titik inilah, jika pemohon tidak terima, pemohon bisa mengajukan sengketa informasi melalui Komisi Informasi Publik sebagaimana yang diatur dalam UU tersebut.

Mekanisme dalam penanganan sengketa informasi telah diatur dalam pasal 35 s/d 50. Namun mekanisme ini jika dituruti tentu saja menjadikan akses informasi menjadi terhambat dan bertele-tele. Kondisi ini diperparah ketika pemahaman sebagian pengelola lembaga publik masih menganggap dokumen publik seperti APBD, RKPD, RKA, LKPJ dan sebagainya sebagai dokumen negara yang harus dirahasiakan.

Taruhlah sebuah institusi publik memiliki “definisi sendiri” apa saja yang boleh diketahui oleh publik, tentu sudah seharusnya definisi itu dikeluarkan dalam regulasi yang baku. Sehingga publik pun bisa mengerti dan “tau diri”. Masyarakat tentunya akan mendapatkan pemahaman ketika apa yang menjadi regulasi soal mana informasi yang halal dan informasi yang haram tersebut, clear! Jika memang demikian, tentunya masyarakat tidak perlu kecele saat mengakses dokumen publik. Dan mereka tidak perlu capek-capek mengajukan sengketa informasi terhadap sesuatu yang dikira menjadi hak mereka, padahal bukan. 

Baca Juga :   Khofifah Dipastikan Berlaga di Pilgub, Soekarwo Siap Bertanding

Ketiga adalah soal political will dan kepercayaan (trust). Penulis melihat beberapa persoalan akses informasi publik sangat bergantung kepada “siapa” yang mengakses informasi tersebut. Apakah pemohon informasi tersebut adalah pihak yang dipercaya atau tidak. Mungkin ada kekhawatiran bahwa jika “orang yang salah” dilayani untuk mengakses informasi, maka informasi tersebut akan disalahgunakan. Karena itulah di beberapa lembaga publik, sebuah permohonan akan informasi publik tak selalu dilayani. Atau bisa jadi dilayani namun dokumen yang diminta tidak diberikan secara utuh. Pertanyaannya adalah, mengapa pejabat publik harus khawatir jika sebuah dokumen atau informasi publik akan disalahgunakan?

Sudah menjadi keharusan bagi lembaga publik, terlebih yang menggunakan “dana publik” seperti APBN dan APBD, untuk selalu diawasi dan bertanggungjawab kepada publik. Dan membuka akses informasi hanyalah bagian kecil dari rasa tanggungjawab tersebut. Jika demikian, tidak ada alasan sedikitpun bagi pejabat publik untuk merasa takut kepada pihak-pihak yang dikhawatirkan akan menyalahgunakannya. Jika informasi yang diberikan adalah valid, dan pejabat publik sudah bekerja sesuai dengan tanggungjwabnya, tidak ada kesempatan sedikitpun bagi upaya penyalahgunaan dokumen tersebut.

Baca Juga :   Koran Online 28 Juni : Hasil Hitung Cepat di Berbagai Daerah, hingga TPS Unik

copy-copy-cropped-header-kip1

Penulis mendambakan pejabat publik di Kabupaten Pasuruan bisa mengikuti Ahok, khususnya dalam konteks informasi publik. Melalui kepemimpinannya, wakil Gubernur DKI Jakarta itu berani membuka akses dokumen publik seperti APBD secara online hingga lampiran ketiga. Tak hanya itu, Ahok juga merilis pendapatan dan kekayaannya melalui blog pribadinya secara berkala berikut laporan pajak yang dia bayar. Ini bisa menjadi contoh bagaimana pejabat publik itu harus selalu siap membuka dirinya dan dan membuka akses informasi publik seluas-luasnya kepada masyarakat.

Akses informasi publik merupakan pintu masuk bagi sinergisitas antara pemerintah dan masyarakat. Di samping itu, dengan akses informasi yang memadai, publik diharapkan mampu meningkatkan perannya dan berkontribusi dalam pembangunan dan kebijakan publik. Bukankah, demokrasi meniscayakan  partisipasi yang kuat dari masyarakat? Bagaimana masyarakat bisa turut berpartisipasi dalam pembangunan jika untuk mengunduh dokumen pembangunan susahnya minta ampun? Bukankah misalnya, ketika publik tahu data kemiskinani dan “cara” pemerintah selama ini menanganinya, publik akan turut memikirkan, mengevaluasi, memberikan masukan, bahkan turut andil dalam upaya pengentasan kemiskinan itu? Bukankah dengan mengetahui bagaimana struktur APBD di sebuah daerah, publik akan terdorong untuk turut mengawal agar uang rakyat itu dipergunakan sesuai dengan peruntukannya? Salahkah jika publik ikut membaca LAKIP, LPPD dan semacamnya sekedar untuk tahu bagaimana selama ini pemimpin mereka bekerja? Lantas, menapa akses terhadap dokumen publik masih saja dipersulit?  Makhfud Syawaludin*/ Penulis adalah Peserta Sekolah Demokrasi 2014