Melihat Keseruan Adu Jitu Panahan di DAM Pleret 1904

370

Oleh: Amal Taufik

WAKTU menunjukkan pukul 08.45. Komplek Pokdarwis DAM Pleret 1904, Desa Pleret, Kecamatan Pohjentrek, Kabupaten Pasuruan, sudah ramai orang.

Lima orang pemanah duduk bersila di atas papan yang dipasang di atas sungai. Mereka lalu bersiap membentangkan busur atau gendewa.

Satu per satu dari mereka kemudian melepaskan anak panah atau jemparing. Bidikan mereka adalah bandul atau wong-wongan yang digantung pada jarak 30 meter.

Penjemparing beradu titis. Lesatan anak panah ada yang melenceng, ada yang nyemplung ke sungai, ada juga yang berhasil mengenai bandul lalu disambut sorakan gembira.

Setiap rambahan atau satu set permainan, penjemparing diberi jatah empat anak panah. Mereka akan mendapat skor dari akumulasi 20 rambahan.

Salah satu peserta asal Kota Denpasar, Anak Agung Anom Giri mengungkapkan, penyelenggaraan lomba jemparingan di atas sungai memiliki keunikan tersendiri.

Arus sungai bisa memengaruhi psikis penjemparing. Tetapi bagi dia, hal tersebut tidak menjadi soal. Ia masih bisa tangkas dalam melesatkan anak panah di tengah gemericik sungai DAM Pleret.

Dari Denpasar, ia membawa serta 10 penjemparing. Empat perempuan dan enam laki-laki. Menurutnya, olahraga tradisional ini sangat bermanfaat. Selain untuk melestarikan budaya, juga dapat melatih konsentrasi.

“Kami tertarik karena ini satu-satunya di Indonesia penyelenggaranya di atas sungai. Itu sangat menarik. Ini yang kedua kalinya kami datang ke sini,” katanya.

Ketua Perkumpulan Panahan Tradisional Indonesia (Perpatri) Kabupaten Pasuruan, Khoiron Hadi menuturkan, jemparingan merupakan olahraga tradisional yang lahir di zaman Kerajaan Mataram. Berasal dari jemparing yang berarti anak panah.

Olahraga ini mulanya hanya dilakukan di dalam lingkup kerajaan. Pemanah atau penjemparing duduk bersila mengenakan pakaian tradisional. Busur dibentangkan dengan posisi horizontal saat membidik target.

“Ada filosofinya. Saat memanah sambil duduk, itu sama seperti kita membumi. Kita punya adat atau tatanan yang membangun mental si pemanah supaya rendah hati,” kata Khoiron.

Lambat laun, olahraga ini kemudian menyebar di luar lingkungan kerajaan. Masyarakat mulai melakukan olahraga jemparingan. Bedanya hanya cara membentangkan busur yang secara vertikal.

Menurut Khoiron, jemparingan memang mulanya diperuntukkan prajurit-prajurit khusus di lingkungan kerajaan.

“Istilahnya mungkin seperti penembak jitu atau sniper kalau sekarang,” ujarnya.

Selama ini, olahraga jemparingan biasanya diselenggarakan di atas permukaan tanah. Di DAM Pleret jemparingan dikemas dalam bentuk lain dengan digelar di atas sungai.

Gelaran jemparingan di atas sungai ini sudah dua kali. Antusias peserta pada tahun ini lebih besar dibanding tahun sebelumnya. Tak kurang dari 150 peserta dari Jawa Timur, Yogyakarta, dan Bali berpartisipasi.

“Ini juga bentuk konservasi sungai. Kami juga memberikan sosialisasi agar sungai tidak dijadikan tempat buang sampah,” imbuh Khoiron. (asd)