Lebaran Belum Bawa Mantu: ‘Cinta Tak Seindah Itu, Adeekkk..’

83

Oleh: Amal Taufik

BAGI sebagian orang, lebaran tidak melulu soal kemenangan. Ada sebagian orang yang mungkin ‘belum menang-menang amat’ ketika berkumpul dengan keluarga.

Bukan karena belum sukses mentereng, melainkan karena risih menghadapi sejumlah pertanyaan basa-basi–yang kadang-kadang tidak basa-basi juga pada akhirnya. Misalnya, “Kapan lulus?”, “Kerja di mana sekarang?”, “Kapan punya anak?”, “Kapan menikah?”

Saya bertanya kepada empat orang yang pada lebaran ini belum membawa mantu. Saya meminta pendapat mereka tentang pertanyaan semacam kapan menikah serta bagaimana mereka menyikapi pertanyaan semacam itu.

Kartini (bukan nama sebenarnya), 35 tahun, wirausaha, tinggal di Jember.

Sebagai perempuan usia 35 tahun dan belum menikah, pertanyaan tentang pernikahan sudah tentu ditanyakan kepada saya. Apalagi adik saya telah menikah tahun lalu.

Memang ada yang hanya sekadar basa-basi, tapi ada juga yang tidak basa-basi. Mereka yang tidak basa-basi itu biasanya menasehati agar saya jangan jadi perempuan yang terlalu pemilih. Saya jawab, pilih-pilih itu kalau ada yang dipilih, lha kalau saya ini yang mau dipilih aja tidak ada. Hahaha!

Bahkan ada juga yang merasa kasihan banget sama saya, seolah-olah saya ini perempuan apes yang tidak kunjung dapat jodoh. Padahal, helaw, saya ini baik-baik saja dan bahagia lho dengan kejombloan ini.

Tapi saya sudah terlatihlah dengan pertanyaan seperti itu, karena tiap tahun pasti ditanya. Sebelum pertanyaan kapan menikah, waktu masih kuliah saya juga kerap mendapat pertanyaan kapan lulus. Jujur saja, saya lebih merasa tertekan dan stres dengan pertanyaan kapan lulus dibanding kapan menikah.

Teman-teman saya yang seumuran sudah pada menikah. Saya menonton kehidupan mereka. Ada yang baik-baik saja. Ada yang mengalami baby blues. Ada yang bercerai. Ada yang sudah jadi single parent. Saya berpikir, semua ada jalan dan ujiannya masing-masing.

Intinya, cinta tak seindah itu adeekkkk….

Maria (bukan nama sebenarnya), 29 tahun, pegawai pemerintah daerah, tinggal di Kota Pasuruan.

Pertanyaan kapan menikah sudah muncul sejak saya lulus kuliah. Mungkin karena saya perempuan, pendidikan tuntas, dan sudah bekerja.

Tiap tahun pertanyaan itu selalu ditanyakan kepada saya. Saya yang agak risih itu kalau pertanyaan kapan menikah diimbuhi nasehat-nasehat yang tidak penting seperti misalnya mau sampai kapan, nanti kalau tua susah hamilnya. Kayak ngapain sih ngurusi hidup saya, kok suka banget.

Mereka tidak tahu apa yang sudah saya lalui selama ini, tanggung jawab apa yang harus saya prioritaskan dalam hidup, bagaimana kisah saya selama ini, lalu mereka dengan seenaknya bertanya sambil memberi nasehat-nasehat agar saya segera menikah.

Menurut saya, makin usia kita matang, kita melihat banyak pengalaman yang terjadi di sekitar. Kita makin banyak pertimbangan dan, maybe, selektif dalam memilih pasangan hidup.

Kalau tersinggung sih enggak pernah ya. Biasanya kalau ada kejadian semacam itu, saya jawab dengan senyuman dan minta doa saja supaya jodoh saya disegerakan. Saya menghindari perdebatan panjang.

Lebaran itu kan harusnya momen silaturahmi dan saling memaafkan. Tapi kalau misalnya lebaran dijadikan momen flexing, momen memberi nasehat-nasehat seperti itu, akhirnya tidak jadi momen saling memaafkan, malah jadi momen bikin dosa baru nggak sih.

Yuli (bukan nama sebenarnya), 30 tahun, pegawai bank, tinggal di Kota Pasuruan.

Sebenarnya bagi saya, pertanyaan kapan menikah tidak hanya datang saat lebaran. Hari-hari biasa pun, ketika bertemu dengan teman yang lama tidak bertemu, pertanyaan itu selalu ditanyakan.

Jujur saja, saya sebal dengan pertanyaan kapan menikah, karena saya tidak pernah bertanya semacam itu ke orang lain, kenapa mereka bertanya seperti itu ke saya? Kadang kalau jawaban saya tidak memuaskan, mereka mengejar terus dan itu menjengkelkan. Pada akhirnya, jawaban saya sama kepada siapapun: mohon doanya saja.

Saya anak pertama perempuan. Adik saya laki-laki sudah menikah dan sekarang sudah punya anak. Posisi saya sekarang cukup sulit dan tekanannya tambah besar. Saya pusing.

Di internal keluarga, bapak lebih santai terhadap hal itu. Mungkin karena laki-laki, ya. Nah kalau ibu ini, selalu tanya sampai kapan saya menjomblo. Saat lebaran, adik saya bergembira bersama istri dan anaknya, sementara saya jadi babu dan sibuk sama anabul (kucing). Ngerti kan bagaimana perasaan saya?

Tersinggung dengan pertanyaan kapan menikah? Pernah. Pertanyaan itu disampaikan seseorang kepada saya disertai embel-embel nasehat agar saya tidak pilih-pilih. Lalu terakhir dia bilang, kalau tidak kunjung menikah, saya bukan umat Nabi Muhammad SAW.

Ya Tuhan.. masa saya dibilang bukan umat kanjeng nabi..

Mamat (bukan nama sebenarnya), 33 tahun, pegawai pabrik, tinggal di Kabupaten Pasuruan.

Pertanyaan yang sering diajukan kepada kepada saya saat lebaran biasanya adalah, ‘mana istrinya?’. Memang ada orang-orang, termasuk saudara, yang belum tahu bahwa saya sudah bercerai pada tahun 2020.

Empat tahun saya tidak berkunjung ke rumah saudara-saudara di Malang. Selain karena pandemi, juga untuk menghindari pertanyaan itu. Baru tahun ini saya berani berkunjung ke Malang.

Yang jelas, setiap lebaran saya selalu ingat anak perempuan saya. Beberapa hari sebelum lebaran kemarin, saya sempat sakit, ambruk. Saat itu saya menangis, meluapkan semua emosi.

Lebaran tahun lalu, mantan istri bersama suami barunya dan anak saya datang ke rumah. Sulit untuk dideskripsikan bagaimana perasaan saya pada momen itu. Tapi, ya, akhirnya saya perlakukan seperti tamu. Saya ajak ngobrol sebagaimana mestinya.

Kami, saya dan anak saya, sudah lama tidak bertemu. Ketika waktu itu bertemu, rasanya seperti magnet yang bertolak belakang. Saya mendekat, dia lari. Dia mendekat, saya kikuk. Dia masih mengenali saya sebagai bapaknya, tapi tetap kikuk saat memanggil saya ‘papa’.

Kalau ditanya apakah saya ingin membawa mantu saat lebaran, ya sangat kepingin! Bayangkan saat takbiran, saya sama pasangan pakai baju yang seragam, lalu berswafoto. Romantis banget, kan? (*)