Konsleting ‘Jeruk Makan Jeruk’

1466

sesama jenisSekali lagi televisi menyiarkan kasus pembunuhan keji –untuk sementara diyakini—berlatar belakang asmara terlarang. Kali ini motifnya agak rumit karena dirancang begitu rapi, menggunakan kopi yang dicampur sianida. Televisi tiap jam menyiarkan perkembangan kasus tersebut sampai orang curiga kalau itu pengalihan isu. Kejadian-kejadian tragis berlangsung tanpa henti, namun para reporter tak tertarik untuk meliputnya. Ada ribuan orang dibunuh tiap hari, tapi beritanya tak segencar ini.

Cak Manap geram, Ustadz Karimun geram meski anger management ustadz kampung itu begitu bagus. Semua pengunjung warung diam-diam geram karena isu –sepertinya—dialihkan, hak untuk cerdas dibelenggu dan berita sedih kok dibesar-besarkan. Tapi mau bagaimana lagi? Bukankah dunia ini hanya milik tiga orang: orang kaya, penguasa dan pemilik media informasi? Rakyat kecil hanya bisa menggerutu, itupun harus dalam hati. Makanya Ustadz Karimun hanya bisa bergumam, kepada dirinya sendiri.

”Kalau dunia ini adalah panggung ludruk, maka saat ini kita sudah memasuki babak klimaks atau konflik” gumam Ustadz Karim selepas menyeruput kopinya.

Baca Juga :   Tak Ada Satupun Parpol Berikan Sumbangan untuk Dua Peserta Pilkada Probolinggo

”Kok bisa, ustadz?” tukas Cak Manap.

”Ya, paling tidak bisa kita lihat dari banyaknya adegan menegangkan atau kejadian aneh yang makin sering terjadi itu cak.”

”Saya kurang paham” kata Cak Manap seraya mematikan televisi. Kalau Ustadz Karimun sudah bicara, televisi sebaiknya dimatikan. Omongan ustadz kampung guru ngaji itu memang sering begitu dalam maknanya. Tentu saja televisi yang sering menyiarkan omong kosong lebih baik dimatikan.

”Lha seperti kita lihat, hal-hal aneh dan sensional makin sering kita jumpai cak. Dulu zaman PKI, ada orang mairilan alias suka sesama jenis sudah aneh bukan main. Orang sepakat kalau itu ketidaklumrahan yang mesti kita mohonkan perlindungan Gusti Allah agar tidak nular. Sekarang, orang menikah dengan sesama jenis malah pakai walimatul arusydengan menyembelih kerbau segala.”

Cak Manap manggut-manggut paham. Berita di berbagai media memang begitu sering mewartakannya.

Baca Juga :   Ada Pembaruan Sistem Anggaran, KPU Jatim Lakukan Pencermatan Ulang

”Iya ya, kalau kita pikir-pikir, saat ini keganjilan apa yang belum terjadi? Bapak meniduri anak sudah lama terjadi, sudah kuno malah. Anak mengantar orang tuanya ke Barzah, istri minta cerai karena kurangneriman, guru dilawan murid, wali murid melabrak guru, pemerintah memenjarakan guru karena menghukum murid, sudah lumrah. Kalau dulu kuli yang mencuri uang juragan, kini malah juragan yang mencuri uang kuli. Dulu pejabat yang menangkapi penjahat, kini pejabat yang ditangkap. Kalau di-angen-angen, jangan-jangan minggu depan sudah kiamat.” Cak Manap jadi tercenung sendiri. Terpekur serius.

”He he he, tabiat manusia memang aneh ya, cak?” Sergah Firman, membuat keduanya sedikit kaget. Firman datang tiba-tiba, langsung berkomentar.

”Orang kaya yang hampir setiap hariandok di depot Saminah, depot Tengger atau lesehan Bu Anis, lama-lama kepingin juga makan nasi jagung pakai ikan asin dan lamtoro. Menurut analisa saya, kenapa ahir-ahir ini marak terjadi kasus konsleting AC/DCalias jeruk makan jeruk alias saling mencintai sesama jenis dalam tingkat kurang wajar, adalah karena orang sudah mblenger dengan hubungan yang wajar. Zaman kita muda dulu pacaran cuma sebatas surat-suratan atau kirim salam lewat radio. Apel tidak berani, takut didamprat calon mertua atau digerebek pak RT. Maka, jangankan goncengan, menerima surat balasan saja sudahtumpengan. Jangankan melihat orangnya, melihat pagar rumahnya saja hati sudah marem. Jangankan duduk berduaan, sandal kita berjajar sama sandal pacar saja sudah berbunga-bunga hati. Bikin syair berbait-bait dengan kata indah. Orang sekarang sudah jenuh berpacaran dengan lawan jenis karena terlalu mudah untuk saling membuka ritzleting celana. Orang sekarang sudah jenuh memilih pasangan lawan jenis karena –konon—sensasinya hanya begitu-begitu saja. Kenalan, apel, nyewa kamar atau di tegalan,mak bles lalu say good bye untuk mencari petualangan baru.” Ustadz Karimun terperangah.