Merayakan Lebaran Bersama Komunitas Lintas Kepercayaan

1501

Menurut Khusaeri, dari ribuan penduduknya itu, 75 persen diantaranya adalah pemeluk Islam. Sisanya, terbagi dalam dua kelompok. Kristen (sekitar 18 persen) dan Hindu (sekitar 7 persen). Yang menarik, meski Kristen dan Hindu baru masuk ke Balun pada dekade 60-an, belum pernah terjadi gesekan antar pemeluk agama di tempatnya. Untuk urusan tempat tinggal para pemeluk agama di desa ini, juga tersebar merata. Tidak terkonsentrasi di satu titik.

Kendati begitu, Khusaeri mengakui, tidak mudah menjaga kebersamaan di tengah kemajemukan masyarakat yang dipimpinnya. Tetapi, sikap adil dan tanpa diskriminasi yang diterapkannya membuktikan bahwa hal tersebut bukan tidak mungkin. Nah, hal itu pula yang selama ini coba ia terapkan. Sebagai contoh ketika ia mengalokasikan sebagian tanah desa untuk makam Islam, kebijakan yang sama ia terapkan pada kelompok agama lain.

Baca Juga :   Wonorejo Diterjang Banjir dan Pohon Tumbang, Jalur Pasuruan-Malang Lumpuh

Bukan itu saja. Potret keberagamaan juga tercermin dalam struktur pemerintahan desanya yang dihuni dari berbagai kelompok agama di desanya. Misalnya saja, posisi Kepala Urusan Pemerintahan yang dihuni oleh Heri Sulistiono, seorang pemeluk Kristen yang taat. “Dan hal itu tidak pernah jadi masalah di masyarakat,” terang Khusaeri.

LINTAS AGAMA: Takbir keliling saat Idul Fitri di Desa Balun, Lamongan yang diikuti komunitas lintas agama, Kamis (14/6/2018) malam. Foto: M. Asad Asnawi.

“Begitu juga sebaliknya. Salah perlakuan, pada akhirnya juga bisa menjadi perlakukan. Makanya, siapapun penerus kepala desa nanti, nilai-nilai antidiskriminasi seperti ini yang harus terus dipertahankan demi agar kekompakan, kebersamaan warga terus terjaga,” imbuh lelaki berkopiah ini.

Sudarno, salah satu penganut Kristen yang ditemui WartaBromo mengatakan, menjaga kebersamaan memang sudah menjadi semangat dan nilai hidup warga Balun yang diajarkan turun temurun. Tak hanya kegiatan keagamaan, praktik tersebut juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Tempat ibadah ketiga agama juga berdekatan. Tepat di depan masjid, adalah GKJW. Sedangkan pura, di belakang masjid.

Baca Juga :   "Jagongan" di Gudel Coffe, Jujugan Para Perintis Bisnis Warung Kopi

Sebagai masyarakat desa yang rata-rata berpenghasilan dari tani, antar pemeluk agama sudah terbiasa untuk bekerja sama. Misalnya, ketika seorang petani yang kebetulan berbeda agama sedang membutuhkan bantuan untuk menggarap sawah, masyarakat dari agama lain tak segan untuk membantunya.

“Yaapa ya istilahnya. Ya, masyarakat sini sudah menganggap itu (perbedaan agama, Red) sudah urusannya sendiri-sendiri. Soal hubungan sosial atau pekerjaan, ya tetap jalan seperti biasa,” jelasnya. Karena itu, tidak sedikit pula dijumpai dalam satu rumah, anggota keluarganya berlatar belakang dari agama berbeda.

Contoh lainnya adalah ketika ada warga yang sedang menggelar hajatan nikah atau khitanan. Warga yang lain biasanya berdatangan ke pemilik hajat dengan mengenakan kerudung untuk yang perempuan, dan songkok untuk yang laki-laki. Padahal, tidak semua yang datang adalah pemeluk Islam.

Baca Juga :   Kurangi Pasutri Siri, Pemkot Pasuruan Terus Gelar Nikah Massal

Malam itu, Sudarno tidak sendirian. Bersama rekan-rekannya sesama jamaah GKJW Balun, pria 45 tahun ini membantu pengamanan kegiatan takbir keliling. Ia pun berharap, kebersamaan yang berlangsung di desanya bisa terus terjaga hingga ke anak cucu. Hidup tentram dalam damai, tanpa gesekan hanya karena beda keyakinan.

Balun adalah potret kecil negeri ini. Keberhasilannya merawat perbedaan yang ada di dalamnya menjadikan desa yang berada di sisi barat Kota Lamongan ini mendapat julukan sebagai Desa Pancasila, sebuah julukan yang akhirnya seolah menjadi dogma bagi warga setempat.
Miftahul Akhyar, salah satu remaja masjid yang ditemui di lokasi bahkan cukup bangga dengan sebutan itu. Gara-gara julukan itu, desanya acapkali menjadi jujukan berbagai media untuk melakukan peliputan. “Sudah sering masuk TV,” selorohnya sembari tersenyum.