Gegabah di Tengah Wabah

2638
Ketidakpatuhan terwujud dalam keterlambatan hingga terbitnya hukuman, jadi bukti para pemangku kebijakan itu tak serius berperang melawan corona.

Oleh Tuji Tok

MENTERI Keuangan RI (Menkeu) memutuskan berikan sanksi penundaan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil (DAU/DBH) kepada 380 daerah provinsi/kabupaten/kota.

Sanksi tersebut berupa penundaan 35 persen dari besarnya penyaluran DAU setiap bulan serta DBH setiap triwulan. Dalam hal ini mulai Mei 2020 atau sejak triwulan II pada tahun anggaran berjalan.

Ada 13 pemerintah tingkat provinsi kena sanksi Menkeu, di antaranya Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, bahkan DI Yogyakarta.
Sanksi juga pada Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, NTT, Papua, Banten, hingga Papua Barat.

Dari yang diungkapkan itu, maka dapat diketahui ada 367 kabupaten/kota turut diberi sanksi gara-gara tidak menyampaikan laporan penyesuaian anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tahun anggaran 2020.

Di antara 367 pemerintah kabupaten/kota
tersebut, lima daerah di tapal kuda, yakni Kabupaten Lumajang, Kabupaten/Kota Probolinggo, serta Kabupaten/Kota Pasuruan, termasuk bagian dari daftar yang menerima surat keputusan penundaan penyaluran DAU/DBH.

Kebijakan penundaan kali ini bukan lagi soal mengendalikan pengimplementasian APBN/APBD, seperti pada 2016 silam. Kala itu, penundaan dilakukan karena ada target penerimaan dalam jumlah tertentu tertuang di APBN-Perubahan harus tercapai. Untuk kali ini kondisi yang melatarbelakangi jauh berbeda.

Baca Juga :   Mahasiswa Pasuruan di Cina Putuskan Pulang, Sebagian Ngaku Sulit Biaya

Sanksi diberikan didasarkan pada pertimbangan pasal 39 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 35/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa tahun anggaran 2020 dalam rangka Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Sejumlah ketentuan lain juga mendasari penerbitan keputusan sanksi (administratif) ini, salah satunya adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 772/KMK.01/2017.

Hanya untuk menegaskan, kebijakan realokasi dilengkapi dengan pengenaan sanksi terhadap daerah yang mengabaikannya itu muncul lebih dilatari alasan, bahwa Covid-19 telah menjadi ancaman yang membahayakan kondisi sosial maupun perekonomian secara nasional.

Merujuk data informasi, terdapat 514 kabupaten/kota di Indonesia, terbagi dari 416 kabupaten dan 98 kota. Artinya, ada 147 kabupaten/kota yang patuh terhadap instruksi pusat soal refocusing/realokasi anggaran sebesar 50 persen, sebagaimana ditentukan, untuk bisa digunakan tangani wabah.

Kalimat sederhana yang bisa dituliskan kepada mereka yang kena sanksi adalah: sesulit apakah pemerintah daerah (bupati dan DPRD) bergerak cepat melakukan apa yang diarahkan pemerintah pusat, memberikan catu anggaran untuk penanganan Covid-19?

Kalau tak salah ingat, ada waktu 10 hari pertama saat pemerintah daerah diminta realokasi 20 persen anggaran. Kemudian ada 10 hari kedua, tatkala pusat meminta daerah agar 50 persen anggarannya dialihkan untuk tangani wabah sekaligus perkuat jaring pengaman sosial.

Baca Juga :   Duh! Sepekan, 8 Motor Raib di Kraksaan

Waktu selama itu, apakah kurang?
Apa memang kehilangan konsentrasi karena gagap hadapi serangan virus?
Atau jangan-jangan malah main-main karena anggaran yang akan dinikmati, macam insentif dan tunjangan harus dipotong? Entahlah.

Ketidakpatuhan terwujud dalam keterlambatan hingga terbitnya hukuman, terutama pada lima daerah di tapal kuda yang dituliskan, jadi bukti para pemangku kebijakan itu tak serius berperang melawan corona.

Ketiadaan komitmen (jika tak boleh menyebut pemerintah daerah main-main) itu menjadi begitu kentara, karena laporan penyesuaian APBD tidak dilakukan secara lengkap dan benar, seperti yang disiratkan dalam kalimat putusan sanksi penundaan.

Gegabah, kata yang bisa diungkapkan terhadap sikap pemerintah daerah yang terkena hukuman dari menteri.
Betapa tidak. Penundaan ini dipastikan kian mengganggu pelaksanaan program dan layanannya, yang pada akhirnya masyarakat secara luas lagi-lagi terimbas.

Bagaimana pembiayaan pengelolaan pemerintahan dan pelayanannya, bila anggaran yang tersedia terbatas karena tak ada “kiriman duit” dari pusat.

Penundaan penyaluran 35 persen DAU merupakan pukulan telak di tengah wabah, yang harus segera disikapi serius pemerintah daerah.
Yang utama adalah bagaimana langkah dan pengelolaan saldo anggaran yang dimiliki saat ini tetap mengedepankan kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

Baca Juga :   Lagi! Viral Video Joget Ala Tiktok di Acara Imtihan Pesantren, Diduga Terjadi di Lekok

Kini, semua menunggu tim anggaran pemerintah daerah melakukan penyisiran, memastikan memasang batasan, yang bisa menjadi pegangan organisasi perangkat daerah (OPD) dalam prioritas program dan memberikan layanannya.

Dengan anggaran cupet sementara dituntut untuk tetap mengutamakan layanan dan kepentingan publik sepertinya menjadi pekerjaan besar yang harus diselesaikan segera.

Jangan sampai sanksi penundaan memengaruhi kinerja pelayanan. Seperti diketahui, selama ini pekerjaan pelayanan menjadi optimal karena memang dalam sebuah program terdapat banyak insentif yang bisa dipetik. Namun mereka yang bertugas memberikan pelayanan publik saat ini diyakini bakal menerima upah/gaji bulanan tanpa disertai tunjangan lain, karena ketiadaan anggaran.

Kembali ke ranah sanksi penundaan DAU/DBH. Tinggal saat ini adalah bagaimana pemerintah daerah segera melakukan pembaharuan laporan realokasi/refocusing dengan lebih lengkap dan benar, agar tak ada lagi sanksi hingga DAU/DBH didapatkan.

Masyarakat luas kiranya tetap memiliki kesabaran, melihat langkah bijak dan tepat hadapi wabah.
Menunggu muncul skenario dan terobosan dari pemerintah daerah khususnya yang ada di Lumajang, Kabupaten/Kota Probolinggo, Kabupaten/Kota Pasuruan dalam kaitan penuhi layanan dan kebutuhan publik.
Masihkah main-main? Wallahu.. (*)