Mengenal RAA. Soejono, Bupati Pasuruan, Satu-satunya Pribumi yang Jadi Menteri Belanda (1)

4433

“Bagi Soejono, ini berarti pengakuan secara prinsip terhadap hak Indonesia untuk menentukan nasib sendiri,” urai Poeze.

R.A.A. Soejono.

Sementara itu, dikutip dari Historia.id, Joss Wibisono menyatakan bahwa motif Belanda menunjuk satu-satunya pribumi dalam jajaran kabinet Belanda adalah tidak murni. Maksud terselubungnya, menurut Wibisono karena pemerintah Belanda di pengasingan khawatir Amerika akan segan membebaskan Indonesia dari pendudukan Jepang.

“Dengan begitu Belanda tidaklah benar-benar berniat mengakhiri kolonialisme atau meningkatkan martabat rakyat Indonesia,” tulis Wibisono.

Kehidupan Pribadi, Birokrat Berdedikasi Nan Berprestasi

Joss Wibisono menyebutkan, Raden Adipati Ario Soejono diangkat menjadi Bupati Pasuruan tahun 1915, di tahun itu juga ia menikah dengan putri Bupati Purwodadi, Jawa Tengah. Selama menjadi Bupati Pasuruan, ia dikaruniai 4 anak. Yakni, Loes Soepianti (1916) dan Mimi Soetiasmi (1918); lahir pula dua anak laki-laki, masing-masing Irawan (1920) serta Idajat (1921).

Baca Juga :   Ngonthel Bareng Rayakan Kemerdekaan RI di Probolinggo

Di saat menjadi Bupati Pasuruan, Soejono diangkat menjadi anggota Volksraad, tahun 1920. Beberapa tahun usai meletakkan jabatannya sebagai Bupati Pasuruan, dalam kapasitasnya sebagai anggota Volskraad, Soejono disekolahkan di Belanda untuk mendalami kebijakan pertanian, peternakan, dan perikanan.

Dalam benak rekan separtainya saat menjabat di Volksraad, Soejono dikatakan sebagai sosok ambtenar yang berprestasi. Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat menyebutkan, bahwa ia adalah orang Jawa yang langka pada zamannya.

Ia mengantongi gelar pegawai utama dari sekolah pegawai di Hindia Belanda. Selepas lulus dari sekolah kepegawaian, Pemerintah Kolonial segera menngamanahkan jabatan Bupati Pasuruan kepada Soejono, di umurnya yang baru menginjak 28 tahun.

“Saya tidak berpikir Pemerintah salah tentang itu (menempatkan Soejono), untuk selanjutnya Soejono adalah salah satu Bupati yang paling cakap di Jawa,” sebur Ahmad Djajadiningrat dalam buku kenangannya tahun 1936, halaman 304.

Baca Juga :   Bercadar dan Bergaya Angkat Senjata, Pawai TK di Kota Probolinggo Jadi Sorotan

Jika ditilik dari latarbelakang hubungan keduanya, cukup wajar jika Achmad menyanjung Soejono. Selain itu, Achmad juga menyinggung bahwa selama menjadi anggota Volksraad, mereka berdua berjuang untuk nasib Hindia Belanda dan Belanda.

Lebih jauh lagi tentang kehidupan pribadinya, ternyata Soejono menyimpan darah seorang raja. Ia anak dari Raja Mangkunegara VI, Kerajaan Mangkunegaran di Solo. Namun sayangnya, ia tidak bisa menjadi penerus tahta Mangkunegaran, lantaran ia lahir saat ibunya, belum secara sah menikah dengan Raja Mangkunegaran VI.

“Menurut hukum Islam, tidak ada yang namanya pengakuan. Dan kecewa dengan harapannya, Mangkunegoro VI tidak lagi memiliki harga dirim dia mencampakkannya dan menetap di Surabaya,” terungkap dalam buku pujian Mangkunegoro untuk menghormati Kenaikan Pangeran Adipati Ario Prabu Prangwedono (dengan nama lain Raden Ario Soerio Soeparto) terbitan tahun 1924.

Baca Juga :   Tarik Wisatawan, Suku Tengger Bromo Gelar Karnaval Kemerdekaan

Dalam literatur lain, “Geschiedenis der ondernemingen van het Mangkoenagorosche Rijk,” disebutkan bahwa Raja Mangkunegara VI tidak memiliki anak dari sang istri permaisuri.

“Tetapi dengan wanita lain Mas Adjeng Wandaningsih memiliki seorang putra RM. Ario Soejono yang bagaimanapun tidak dapat dipertimbangkan untuk suksesi (kepemimpinan),” tulis A.K. Priggodigdo dalam bukunya terbitan tahun 1939.

Tak heran, dalam kebudayaan jawa, kekuasan bisa diturunkan. Meski tahta kekuasannya tidak bisa dilungsurkan ke Soejono. Namun jiwa kepemimpinan ayahnya itu menurun pada diri Soejono. (asd/bersambung)