Tanpa Intervensi, Indonesia Bakal Kehilangan Rp544 Triliun di 2024 Akibat Krisis Iklim

6995

Sayangnya, kendati berbagai dampak begitu nyata di depan mata, Indonesia termasuk negara yang paling lambat menuju net zerro emissions. Bahkan, berdasar rating scoreboard zero policy carbon negara-negara G-20, Indonesia berada di kelompok keempat yang merupakan rating terendah negara G-20.

Sebelumnya, komitmen untuk pencapaian zero emissions memang sempat menjadi polemik di kalangan negara-negara global. Apakah akan dicapai pada 2040, 2050 atau bahkan 2070. Padahal, di luar konteks perdebatan itu, semakin cepat upaya besar untuk mengurangi emisi, akan semakin baik untuk bumi di masa depan.

Merujuk data yang disampaikan Bloomberg, kemampuan Indonesia sebagai komitmen net zero emissions cukup rendah. Sementara pada 2030 mendatang, Indonesia baru menargetkan adanya penurunan emisi sebesar 29 persen.

Harry menjelaskan, tanpa upaya yang lebih serius menurunkan gas rumah kaca (GRK) suhu bumi diperkirakan akan meningkat 1,5 hingga 3 derajat selsius. ‘Dampaknya, bencana hidrometeorologi akan meningkat. Pulau-pulau kecil akan hilang,” terang Harry.

Baca Juga :   Pandemi dan Momentum Wujudkan Ketahanan Energi

Bukan itu saja. Indonesia yang disebut-sebut sebagai mega biodiversity country akan banyak menanggung kerugian karena punahnya flora dan fauna. Kondisi sosial ekonomi juga ikut terancam. Termasuk sistem ketahanan pangan nasional.

Meningkatkan Kapasitas DAS

Meningkatkan kapasitas Daerah Aliran Sungai (DAS) dinilai menjadi salah satu opsi untuk menghadang laju dampak perubahan iklim. Pengelolaan DAS yang baik menurut Harry bisa disebut sebagai bentuk intervensi dimaksud.

Pertanyaannya, sejauh mana publik dan para pemangku kepentingan memiliki kepedulian terhadap pengelolaan DAS? Menurut Harry, kendati memiliki peran penting dalam menjaga tata kelola hidup manusia, DAS acapkali dipandang sebelah mata.

Dalam konsep ekonomi lingkungan, DAS yang merupakan common property resources atau public goods. Dalam konteks itu, jasa lingkungan yang dihasilkan dari DAS menjadi hak semua orang. “Saat kondisinya baik, semua orang ingin menikmati. Sebaliknya, saat kondisinya rusak, semua orang tidak mau bertanggung jawab,” terang Harry.

Baca Juga :   Mereka Yang Bertahan di Tengah Hempasan Wabah

Situasi itu diperparah dengan adanya pemahaman dan kebijakan yang keliru dalam memposisikan DAS. Di daerah misalnya. Tidak semua pengambil kebijakan memahami nilai sosial ekonomi dan ekologi dari DAS. Akibatnya, terjadi pembiaran tatkala terjadi konversi lahan secara ilegal di wilayah DAS (hutan) lantaran dinilai tak menyumbang PAD (pendapatan asli daerah). Padahal, ada banyak manfaat dari keberadaan hutan lindung. Terutama dari sisi non kayu dan jasa lingkungan lainnya.

Hal inilah yang menjadi persoalan. Nilai-nilai sosial, ekonomi, dan lingkungan DAS tidak pernah masuk dalam kalkulasi nilai ekonomi pemegang kebijakan dan pemilik lahan pribadi. Selain itu, tidak ada perhitungan data ekonomi terkait mereka yang telah menyediakan jasa lingkungan.

Baca Juga :   Puasa di Luar Negeri: Cerita dari Negeri Stalin (3)

“Ketika ada petani yang membuat rorak atau terasiring, perawatan di daerah hulu, seperti apa perhitungan dampaknya. Ini yang tidak pernah ada dampaknya. Sekalipun sebenarnya itu semua bisa kita hitung dengan proxy variabel dan sebagainya,” ungkap Harry.

Masalahnya, tidak ada pihak yang melakukan penghitungan atas jasa lingkungan yang disediakan masyarakat hulu ketika melakukan konservasi tanah dan air dan dinikmati mereka yang tinggal di hilir. Atau bagaimana kawasan hulu melindungi kawasan hilir, tak pernah ada perhitungan secara detil.

Dalam kasus pembangunan waduk Ciawi di Bogor misalnya. Pemerintah DKI Jakarta kala itu sempat memberi kontribusi sebesar Rp 10 miliar kepada Pemda Bogor. Akan tetapi, dana yang digelontorkan hanya sekadar sebagai kontribusi. Bukan didasarkan atas perhitungan yang matang apa dampak dari keberadaan waduk tersebut ketika dibangun.