Berbincang dengan Penghayat Kepercayaan Satya Bhumiputera di Pasuruan

301
Aditya Rachman Kertawidjaya saat beribadah.

Oleh: Amal Taufik

MALAM hampir tiba ketika WartaBromo tiba di kediaman Aditya Rachman Kertawidjaya di Desa Pekangkungan, Kecamatan Gondangwetan, Kabupaten Pasuruan, Minggu (20/08/2023).

Rumahnya memiliki halaman cukup luas dengan berbagai tanaman yang tumbuh di sekitarnya. Ada beberapa bangunan gazebo berjajar. Ada juga pendopo yang berisi barang-barang seni jaranan.

Sebagai pemadya atau pemangku di Satya Bhumiputera, sekaligus Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Pasuruan, rumahnya menjadi tempat berkumpul para anggotanya.

Sekitar pukul 18.30, Adit–panggilan akrabnya–bersiap untuk melakukan ibadah. Ia membakar beberapa batang dupa, lalu meletakkannya di altar yang berada di dekat dapur rumahnya. Sejenak kemudian ia beribadah dengan khusyuk.

“Kami beribadah sehari dua kali. Saat matahari terbit dan matahari tenggelam,” kata Adit.

***

Satya Bhumiputera adalah salah satu paguyuban penghayat kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Pengikut Satya Bhumiputra memiliki ajaran yang disebut ajaran Kawruhana yang didasarkan pada aksara Jawa ‘ha’ dan ‘na’.

Aksara Jawa berjumlah 20 yang dimulai awalan ‘ha’ hingga berakhir pada ‘nga’, menurut Adit memiliki makna masing-masing. Makna 20 aksara Jawa itu menjadi pedoman pengikut Satya Bhumiputera menjalani hidup sehari-hari

Satya Bhumiputera meyakini keberadaan Tuhan yang tunggal. Mereka biasa menyebutnya sebagai Hyang Jawata.

Sang Hyang Jawata, bagi pengikut Satya Bhumiputra, merupakan zat yang tak terjamah manusia. Zat yang melampaui segala sesuatu yang masih dibatasi ruang dan waktu.

Adit membahasakannya: Hyang Jawata sebagai zat yang tan kena kinira dan tan kena kinaya ngapa.

“Tidak bisa dikira-kira dan ditafsirkan. Kami meyakini keberadaan Tuhan berdasar adanya bapa angkasa dan ibu bumi yang menjadi orang tua kami di alam semesta.”

Adit kemudian mengambil salah satu kerisnya dan menunjukkannya pada kami. Sambil membuka warangka, ia bilang, keris merupakan simbolisasi Hyang Jawata: nyawijine (bersatunya) bapa angkasa (keris/curiga) lan ibu bumi (warangka).

Dalam ajaran Satya Bhumiputera, alam semesta, yaitu langit dan bumi, bukan sekadar kumpulan benda, zat, molekul, atau apapun yang terbentuk setelah terjadi big bang jutaan tahun yang lalu.

Langit dan bumi adalah bapa biyung jagat ageng (bapak ibu jagat besar). Ada juga bapa biyung jagat alit (bapak ibu jagat kecil). Mereka tak lain adalah orang tua kandung. Dua bapa biyung ini wajib dihormati.

“Bagi kami, bumi ini ibu kami yang menghidupi makhluk hidup. Pemahaman kami, nyawijine bapa angkasa dan ibu bumi menjadikan adanya kehidupan pertama kali, sehingga bagi kami, tumbuhan dan hewan adalah saudara tua,” kata Adit.

Menghormati bapa biyung jagat ageng dan jagat alit menjadi laku hidup para pengikut Satya Bhumiputera. Setiap aktivitas yang dilakukan dalam hidup harus meminta restu kepada bapa biyung.

Ditanya soal pantangan atau sesuatu yang dalam bahasa arab disebut “haram”, menurut Adit, ajarannya hanya mengenal sesuatu yang pantas atau tidak pantas. Dalam bahasa jawa, ilok atau ora ilok.

Ajaran Satya Bhumiputera tidak mengenal konsep dosa. Mereka memiliki pemahaman, apa yang manusia tanam hari ini adalah apa yang akan manusia panen di masa depan. Semua hal yang dialami manusia tak lepas dari hukum kausalitas.

Ketika manusia mengalami sesuatu yang buruk, maka, dalam pemahaman Satya Bhumiputera, itu merupakan imbas dari perbuatan yang dilakukan sebelum-sebelumnya.

“Kalau kita mendapat sesuatu yang jelek, itu jangan menyalahkan orang lain. Kita harus introspeksi diri, apa yang kita tanam kemarin. Kadang-kadang kita tidak sadar,” ujar Adit.

Penghayat kepercayaan ajaran Satya Bhumiputera saat ini sudah diakui oleh negara. Kolom agama di KTP Adit tertulis sebagai penghayat kepercayaan Tuhan yang Maha Esa.

Hak-hak penghayat kepercayaan untuk beribadah sesuai keyakinannya telah diakomodir, meski dalam beberapa hal, seperti pendidikan formal di sekolah, belum sepenuhnya sempurna.

Terakhir, sebelum menutup obrolan malam, Adit menjelaskan pedoman Kawruhana. Aksara jawa ‘ha’ dimaknai sebagai empat hal. Pertama, Hamamayu Hayuning Pribadi, yaitu, manusia harus bisa merawat dirinya dengan baik sebagai bentuk ungkapan syukur atas ciptaan Tuhan.

Kedua, Hamamayu Hayuning Keluarga, yaitu bagaimana manusia berbuat baik dan bermanfaat bagi keluarganya. Ketiga, Hamamayu Hayuning Warga, yaitu bagaimana manusia berbuat baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Keempat, Hamamayu Hayuning Bawana, yaitu bagaimana manusia hidup harmoni, bermanfaat, dan menjaga alam semesta.

“Di aksara ‘na’ kami memiliki pedoman. Pengikut Satya Bhumiputera harus bisa nata ati, nata lathi, nata laku, dan nata pikir. Kalau dalam bahasa Indonesia, harus bisa menjaga perilaku, menjaga perasaan, menjaga perkataan, dan menjaga pikiran,” pungkas Adit. (asd)

Simak videonya: