Politik Anak Muda, dan Anak Muda dalam Politik: Mengapa Anak Muda Apatis?

114
Ruang Pemilu

Pasuruan (WartaBromo.com) – Pembahasan seputar politik menjadi sangat menarik mendekati pesta demokrasi pada 2024 mendatang. Terlebih, data KPU menyebut Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 sebanyak 33,60 persen adalah millenial.

Wakil Ketua GP Ansor Jatim Zulkarnain Mahmud dan Koordinator Kademi Pemilu dan Demokrasi Kota Pasuruan Moh. Anas membahas hal ini dalam dalam podcast wartabromo bertajuk “Obrolan Putusan MK: Politik Anak Muda dan Anak Muda dalam Politik.”

Fungsi Partai Politik dan Aktivis yang Apatis

Dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan UU No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, disebutkan pada bab 5 Tujuan dan Fungsi partai politik salah satunya memberikan pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas.

Baca Juga :   Ustad Sa'dullah Bantah Menghina, Ucapan ke Kyai Ma'ruf dan Ansor Merupakan Bentuk Cinta

Dalam hal ini, Zulkarnain mangatakan bahwa pendidikan politik pada masyarakat sejauh ini belum optimal. Padahal, parpol secara struktural memiliki klaster kepemudaan.

“Partai politik itu punya banom-banom klaster kepemudaan, tapi bisa kita lihat di lapangan mereka tidak jalan itu,” papar Zulkarnain dalam podcast wartabromo.com pada Sabtu, (14/10/2023).

Menurutnya situasi itu merupakan hal baru, yang kemudian banyak didapati dari kalangan aktivis dengan bacaan seperti Tan Malaka, Sukarno dan lainnya, namun pada politik mereka apatis. Punya idealisme tapi tidak ada niat untuk bertarung.

“Mereka melihat situasi sosial politik kita itu sudah rusak. Kalau mereka mengaku revolusioner mereka harus merujuk pada senior-seniornya Tan Malaka, Sukarno, Hatta. Sehingga tidak meninggalkan namun masuk ke sistem politik merebut kekuasaan,” tegasnya.

Baca Juga :   Mancal "Sorban", Gowes yang Diawali Tahlilan

Terbentur Biaya Politik yang Mahal

Zulkarnain lebih lanjut mengatakan, anak-anak muda yang mau bertarung dalam politik faktanya akan terbentur dengan cost politik yang mahal.

Dalam buku democracy for sale, lanjutnya, apa yang mereka temukan adalah bahwa demokrasi Indonesia itu demokrasi termahal di dunia.

“Siapa anak muda yang punya cita-cita idealisme gagasan hebat ketika ia bertarung di lapangan akan terbentur dengan sendirinya,” paparnya melanjutkan.

Mengutip perkataan Gus Dus pada tahun 2004 silam, sambungnya, secara prosedural kita sudah berdemokrasi tapi secara substansial kita masih jauh dari demokrasi.

Sementara, Moh. Anas mengatakan bahwa sejauh ini politik acap kali disajikan dengan sangat menarik namun jauh dari kata sehat untuk dikonsumsi.

Baca Juga :   Lima Tahun, Pemilih di Kabupaten Pasuruan Bertambah 48.182 Orang

“Politik disajikan secara enak di lidah tapi tidak menjamin kesehatan badan,” papar mantan Ketua Bawaslu Kota Pasuruan menyambung obrolan. (lio/may)

Selengkapnya simak: