Guru, Kekerasan dan Pahlawan Kesiangan

1498

image

Kekerasan terhadap murid kembali terjadi. Kali ini di pedalaman kecamatan Rejoso, tepatnya di desa Sadengrejo, sebuah dusun yang agak menyulitkan Google Map jika kita mencarinya. Namun seperti aroma ketiak Firaun, isu cepat berkembang meski tak se-ngetop berita Salim Kancil di pedalaman Lumajang.

Berita penganiayaan siswi SD yang menyebabkan gangguan syaraf otak itu tiba-tiba menasional, para pahlawan “yang bangun” kesiangan berdatangan menjenguknya karena kamera media stand by menyorot siapa saja yang datang seperti CCTV. Bagi seseorang yang menyimpan rencana terselubung untuk mencalonkan diri dalam suatu pemilu, ini bagus buat pencitraan. Para pejuang kemanusiaanngomel-ngomel, dan yang menjadi sasaran utama adalah sekelompok orang yang hingga saat ini belum juga membaik nasibnya : Guru!

LSM memarahi guru. Komnas perlindungan anak memarahi guru. Wali murid, wartawan, menteri pendidikan hingga tukang potong rambut di warung Cak Manap juga ikutmaiduh guru. Padahal tak sesederhana itu permasalahannya. Guru SDN Sadengrejo sedang ketiban awu anget. Menjadi korban salah urat pola pikir nasional yang kita adopsi entah dari mana itu. Padahal, beliau-beliau tak pernah memberikan materi “Cara cerdas menjadi preman sekolah” misalnya. Malah sebaliknya, guru PPKn, guru PAI dan BK selalu mewanti-wanti agar anak-anak manis itu berlaku santun sesuai Pancasila dan norma agama. Namun karena kreativitas anak sekarang jauh melampaui apa yang kita pikirkan ditambah kebiasaan kita memberi makan mereka dengan rejeki kurang halal, tragedi pemalakan itu terjadi, dan korban menjadi bertambah. Bukan hanya korban pemukulan yang sedang dirawat di rumah sakit, namun juga para guru yang tiba-tiba ngetop dan mendapat tudingan ribuan telunjuk.

Baca Juga :   Mayat Bayi Tanpa Tangan dan Kaki Ditemukan di Kebun Kosong

Warung Cak Manap memanas oleh sumpah serapah yang tidak dimusyawarahkan terlebih dulu itu. “Watak asli” demokrasi yang melegalkan setiap orang untuk misuhi orang, ketahuan sekarang. Paling tidak Cak Saepul langsung to the point “lha wong gurunya rasan-rasan di kantor. Anak-anak disuruh mengerjakan soal-soal di buku LKS” padahal Cak Saepul tak tahu persis kapan dan bagaimana peristiwa pemukulan terjadi.

Cak Manap juga ikut menyalak sekeras AK-40. “Guru sekarang bisanya hanya menerima gaji dan tunjangan sertifikasi. Kesejahteraan sudah terjamin tapi kinerja tetap asal-asalan”

“Guru sekarang lebih sibuk membuat perangkat pembelajaran daripada mendidik murid. Yang dikejar hanya tunjangan-tunjangan, tidak seperti guru zaman dulu yang rela mengajar seraya nyambi ngojek” sela Marjuki. “Menjadi guru itu harus rela menjadi pecundang bagi keluarga demi menjadi pahlawan bagi bangsa dan kemanusiaan” katanya pula.

Ustadz Karimun yang duduk dipojok merah padam wajahnya. Mengelus dada berkali-kali menyesali bencana peradaban yang mewabah secara tiba-tiba ini. Cepat sekali komnas perlindungan anak nakal mencuci otak setiap orang. Apalagi undang-undang HAM juga tiba-tiba dianggap suci melebihi kitab suci yang asli. Kasus penganiayaan di SDN Sadengrejo itu dilakukan oleh sekelompok bromocorah kecil, tapi tanpa perasaan setiap orang menghujat para guru yang tidak tahu menahu dengan alasan lalai saat menjalankan tugas.

Bibir Ustadz Karimun bergetar, lalu pelan-pelan ia bersuara. “Jangan asal menghujat,dulur. Mendidik anak manusia itu jauh lebih sulit daripada mendidik anak macan untuk sirkus. Mengelola kelas berisi anak manusia itu seratus kali lebih menyakitkan hati daripada menggiring sepuluh arakan bebek. Apalagi barang haram telah kita anggap nikmat untuk ditelan, perilaku anak manusia kadang lebih gawat dari anak jin ifrit.”   Orang-orang cep! Tak ada yang bersuara.

Baca Juga :   Kabupaten Probolinggo Darurat DBD

“Jangan pula asal melempar kesalahan. Sebab yang paling bersalah dalam kasus ini adalah murid-murid pemalak itu” Ustadz Karimun nanar.

“Tapi anak-anak tak bisa dijerat hukum, ustadz” Mas Bambang malah berani nyeletuk.

“Itulah kesalahan kita. Kenapa kita mengadopsi sistem hukum yang disusun para penjajah itu? Kanjeng Nabi memperbolehkan kita memukul anak-anak jika mereka berbuat salah. Bukan untuk menyakiti, tapi untuk mendidik. Orang tua kita dulu juga tak segan membabat punggung kita dengan rotan kalau kita bandel. Sekarang HAM memberi angin segar agar setiap orang—bahkan anak-anak—boleh berbuat semau sendiri. Semenyakitkan apapun kebandelan murid, guru yang sudah buruk nasibnya itu tak boleh menjewer mereka. Dan sekarang lihat, bagaimana tingkah polah anak-anak kita?”

“Kita sebaiknya tak menimpakan kesalahan terhadap guru sepenuhnya. Sebab para aktivis yang maiduh para SDN Sadengrejo itu tak pernah merasakan bagaimana pahitnya menjadi seorang guru di zaman gila ini. Anak sekarang tak seperti kita dulu. Televisi, internet, teman sebaya, lingkungan dan para artis telah begitu intens mengajari mereka untuk mempraktekkan segala bentuk kekurangsantunan, bahkan –maaf—kekurangajaran. Kita juga bersalah karena apa yang kita suapkan kepada mereka kadang barang haram yang merupakan chip pengendali dalam darah mereka untuk berperilaku hampir menyamai ifrit.”

Baca Juga :   Kasus Pencabulan Bocah, AKP Zainal Yakin Bebas di Tingkat Banding

“Saya sangat tidak setuju jika para guru terus kita sakiti. Hidup mereka sudah amat prihatin. Presiden dan menteri penidikan sepakat mengahalang-halangi kesejahteraan mereka. Para aktivis LSM, HAM, KPA dan para pahlawan kesiangan lainnya tak pernah arif menyikapi kasus kekerasan di sekolah. Bahkan para penulis dan sutradara amatir sering ikut-ikutan menyakiti mereka dengan membikin tokoh guru killer.”

“Apalagi beliau-beliau ini guru SD. Guru yang sangat berjasa terhadap kelangsungan nasib seseorang karena merekalah yang pertama kali mengajari membaca. Menurut nalar seorang bocah SD, alangkah sulitnya merangkai huruf-huruf menjadi suku kata. Suku kata menjadi kata. Kata-kata menjadi kalimat. Apalagi memahami kalimat-kalimat menjadi kesatuan pengetahuan. Pengetahuan, ternyata amat bermakna jika ditinjau dari perspektif orang yang belum tahu. Sebuah misteri tak terjangkau. Segelap ketakjuban seorang kakek dari sebuah pedukuhan di pedalaman Kalimantan atas benda ajaib bernama laptop, atau ketakjuban seorang sarjana filsafat lulusan Harvard University atas kepandaian pembuat onde-onde menempel wijen –satu persatu—pada kulit penganan lezat itu. Bahkan, bisa serumit cara menjelaskan apa itu pulsa,software serta multy level marketing kepada Wak Takrip. Pengetahuan merupakan cahaya bagi gelapnya kebelumtahuan. Pintu-pintu rahasia yang bisa mengantar kita pada nikmatnya kemudahan serta jalan keluar. Kata sandi pembuka pintu besi kesukaran. Nomor kombinasi ruang khusus tempat menyimpan kopor-kopor berisi kebahagiaan serta kemudahan.” | Penulis : Abdur Rozaq