Lewat Gawai, Radikalisasi Mengancam di Tengah Pandemi

1155

Dijelaskan Hamli, ada tiga narasi besar yang dibangun kelompok ini berkaitan dengan Covid-19. Pertama, menyebut Covid-19 sebagai azab atau hukuman tidak diterapkannya syariat Islam dan khilafah; menganggap Covid-19 sebagai takdir Tuhan; serta menilai pemerintahan telah gagal dan menyerukan segera diterapkannya khalifah Islam.

“Propaganda-propaganda yang terus didengungkan melalui berbagai platform digital, seperti medsos, blog atau yang lain,” ujar Hamli. Inilah yang menjadi tantangannya. Di saat penggunaan internet meningkat imbas diterapkannya jaga jarak dan work form home, jaringan teroris tetap bergentayangan di sudut-sudut ruang digital menyebar propaganda.

Di Kabupaten Pasuruan, propaganda itu pada akhirnya nyata terbukti. Kendati tidak disebutkan namanya, sebuah desa di wilayah setempat menolak rencana pemerintah untuk menjadikannya sebagai kampung tangguh dari Covid-19. Ada kelompok tertentu yang memprovokasi perangkat dengan menyebut Covid-19 ini sebagai takdir,” jelas Kapolres Pasuruan, AKBP. Rofiq Ripto Himawan.

Baca Juga :   Bernostalgia, Kepala BNPT Sambangi Ponpes Canga'an Bangil

 

Facebook Dominasi Sebaran Konten Radikal

Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) tak mengelak massifnya penggunaan platform digital oleh jaringan kelompok teroris. Karena itu, dengan jumlah pengguna internet aktif yang mencapai 140 juta lebih, tidak menutup kemungkinan sebagian diantaranya akhirnya terpapar.

Kominfo pun memiliki sejumlah langkah untuk mencegah berkembangnya aksi terorisme, radikalisme, dan ekstrimisme di ruang digital. Mulai dari pemblokiran, hingga literasi digital. Plt. Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika Kominfo, Anthonius Malau, mengatakan, sebanyak 16.739 konten terorisme diblokir sejak 2017 hingga Juni 2020 lalu.

“Jumlah tersebut terdiri dari konten di media sosial dan juga situs,” katanya saat menjadi narasumber webinar Pencegahan serta Penanggulangan Radikalisme dan Terorisme di Masa Pandemi, Jum’at (14/08/2020) lalu.

Secara rinci, lanjut Anton -sapaan Anthonius- terdiri terdiri dari konten di facebook, 11.600; Twitter, 2.282 konten; situs web 496 konten; YouTube 678 konten, dan file sharing sekitar 1.000 konten.

Baca Juga :   Survey BNPT: Pencegahan Terorisme Tereduksi oleh Media Sosial

Berangkat dari gambaran tersebut, Anton pun tak mengelak bila kemajuan teknologi digital telah menjadikan perubahan interaksi dan penyebaran ideologi oleh kelompok eketremis. Karena itulah, literasi digital dan juga inseminasi informasi akan bahaya terorisme menjadi hal yang mutlak.

Ruang digital, kata Anton, saat ini telah menjadi media penyebaran paham terorisme karena memiliki jangkauan yang sangat luas. Oleh karena itu Kominfo telah menjalin kerja sama dengan BNPT untuk mencegah berkembangnya kelompok-kelompok tersebut melalui ruang digital.

“Kami bekerja sama dengan BNPT dengan masuk ke dalam Tim Koordinasi Penanggulangan Terorisme (Tim Sinergitas) yang juga melibatkan 36 kementerian/lembaga terkait lainnya dalam upaya pemberantasan terorisme,” terang Anton.

Data Center for Digital Society, Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta misalnya, menyebut rerata masyarakat menghabiskan waktunya 6 jam sehari untuk mengakses internet. Angka itu meningkat 20 persen bila dibanding sebelum pandemi. Dengan pengguna internet aktif yang lebih dari 140 juta orang, Indonesia menjadi sasaran empuk

Baca Juga :   Siagakan Densus 88, BNPT Imbau Tingkatkan Kewaspadaan Hadapi Natal

Benedikta Dian Ariska Candra Sari dalam artikelnya, Media Literasi dalam Kontra Propaganda Radikalisme dan Terorisme Melalui Media Internet (2017) di sebuah jurnal menyebutkan, keberadaan internet dinilai efektif untuk melakukan ideologisasi secara online.

Internet, dengan dukungan media sosial memudahkan mereka untuk menyebarkan radikalisme dan propaganda melalui akun-akun anonymus. “Selain menyebarkan propaganda, akun-akun di medsos juga bertugas untuk menjaring follower sehingga mampu menyebarluaskan kampanye radikal di dunia maya secara lebih massif,” tulis Ariska dalam artikelnya.Terlebih berdasarkan data yang ada, 97.4 persen dari total pengguna internet di Indonesia adalah pengakses media sosial.