Mengapa BUMDes Ambyar? (2)

2386
Salah dalam memilih kegiatan usaha hingga bias politik menjadi faktor BUMDes tak berjalan maksimal. Butuh kesungguhan agar keberadaan BUMDes memberi manfaat masyarakat setempat.

Laporan Amal Taufik

SEJAK disahkannya Undang-Undang nomor 6 Tahun 2014, desa menjadi subjek prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat.
Triliunan dana digerojokkan untuk desa-desa dalam rangka mendorong desa menjadi lebih mandiri.

Salah satu usaha untuk menjadikan desa mandiri adalah pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Desa dianjurkan memiliki BUMDes untuk mendorong perekonomian di tingkat desa dan meningkatkan pendapatan asli desa (PAD).

Sayangnya, usaha itu tak mudah. Nyatanya, ada ribuan BUMDes di Indonesia yang belum berjalan sesuai harapan. Alih-alih berkontribusi pada pendapatan desa, sekadar aktif saja tidak.

Padahal BUMDes, jika dikelola dengan baik dan sungguh-sungguh, manfaatnya bagi masyarakat desa sangat luar biasa. Contohnya adalah Desa Karangjati, Kecamatan Pandaan, Kabupaten Pasuruan.

Baca Juga :   Perum PSK Kota Pasuruan Terapkan Physical Distancing

Bisa dibilang, desa ini cukup berhasil mengelola BUMDes hingga manfaatnya bisa dirasakan masyarakat setempat. Berkat BUMDes yang diberi nama Kujati Perdana itu pula, pihak pemdes sanggup membiayai sekolah puluhan anak yatim di desa setempat.

Desa Karangjati merupakan satu dari tujuh desa se-Kabupaten Pasuruan yang sukses mengelola BUMDes. Angka itu sangat kecil bila dibanding jumlah desa yang ada Di Kabupaten Pasuruan. Atau bahkan jumlah desa yang telah memiliki BUMDes sekalipun.

Data WartaBromo.com menyebutkan, dari total 341 desa, tercatat ada 170 desa yang benar-benar aktif mengelola BUMDes. Dari angka itu, 102 dinilai aktif; 50 masih proses verifikasi; 12 mati suri; 6 baru terbentuk.

Kabid Bina PPDK Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Pasuruan Munif Triatmoko mengatakan, ada banyak faktor yang menyebabkan pengelolaan BUMDes kurang maksimal. Selain kurangnya kesungguhan, salah dalam mengambil peluang bisnis juga menjadi penyebabnya.

Baca Juga :   Total 32 Pasien Positif Meninggal Dunia di Kabupaten Pasuruan hingga Melihat Kesibukan Petani Jeruk Keprok di Ngembal | Koran Online 6 Juli

Contoh tersebut bisa dilihat dari banyaknya BUMDes yang memilih simpan pinjam sebagai kegiatan usaha. “Banyak yang memilih ini karena tidak begitu membutuhkan perencanaan usaha yang kompleks. Cukup modal dari dana
desa, lalu jalan,” kata Munif.

Padahal, lanjut Munif, tantangan usaha ini cukup besar. Selain risiko pinjaman macet, usaha ini juga kalah kompetitif dengan usaha sejenis yang dikelola lebih profesional. Apalagi, marak fintech-fintech yang juga melakoni usaha sejenis.

Yang menarik, bias politik juga turut berperan menjadi penyebab daftar panjang BUMDes yang mati suri. BUMDes di Desa Kemantrenrejo, Kecamatan Rejoso, adalah contoh kecil di antaranya. Betapa tidak. BUMDes di desa ini berhenti beroperasi karena terimbas keriuhan politik desa.

Baca: Mengapa Banyak BUMDes Ambyar?

Baca Juga :   Oleng, Mobil Carry Sasak Lampu Jalan dan Pemotor di Purwodadi

Ketua BPD Kemantrenrejo Wiwin menceritakan bahwa BUMDes di desanya mandek sejak satu bulan yang lalu, yakni pasca Pemilu Kades. Sebabnya para pengurus BUMDes merupakan loyalis Cakades petahana. Sementara pada Pilkades lalu sang jagoan kalah. Benar saja, tak lama kemudian para pengurus BUMDes kompak mengundurkan diri.

Padahal di BUMDes di Kemantrenrejo sejatinya cukup potensial dengan kegiatan usaha pengalengan ikannya. Selain itu, di desa tersebut juga tengah berkembang kerajinan batik tanjung khas Kemantren.

Menurut Wiwin, rencana saat itu kerajinan batik juga hendak dijadikan salah satu unit usaha BUMDes. “Tapi ya batal karena faktor politik. Akhirnya modal BUMDes dikembalikan lagi ke kas desa,” ujar Wiwin.

Lain di Kemantrenrejo, lain di BUMDes Kujati Perdana, Desa Karangjati, Kecamatan Pandaan. Kegiatan usaha yang dijalankan BUMDes setempat terbilang sukses dengan pendapatan ratusan juta per bulan.