Merangkum Perjalanan, Menatap Pemilu 2019

1193

Oleh: VITA SUCI RAHAYU, S.Sos *)

SELALU ada perubahan menuju negara demokrasi yang ideal ala Indonesia. Dengan keberagaman ideologi, Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri jika dibandingkan dengan negara lain yang sama-sama menganut sistem Pemerintahan Presidensial, seperti Amerika Serikat.

Proses pendewasaan penguasaan legislator di Indonesia berjalan dari waktu ke waktu, sejak runtuhnya Orde Baru. Proses ini dipertajam dengan ditetapkannya calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014. Karena sistem ambang batas Presidensial Threshold di Indonesia, sehingga hanya ada dua calon yang saling berhadapan, dari gabungan/dukungan multi partai. Tak berhenti dalam pencalonan Presiden, kubu yang saat itu menyebut sebagai Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) itu, kemudian adu kekuatan, memperebutkan kursi-kursi kepemimpinan di DPR. Kursi-kursi tersebut kemudian dapat direbut oleh Koalisi Merah Putih. Bagi pemenang Pemilu, hal itu (barangkali) dirasa tidak adil.

Baca Juga :   Kejahatan di Wilayah Timur Dikeluhkan, Bupati : Kesejahteraan Masih Kurang

Sebagai penganut sistem Presidensial, kedaulatan Presiden berada di tangan rakyat, karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan dalam bekerjanya dibantu oleh menteri-menteri.

Kala itu, parlemen (baca KMP) tidak mau kalah, dengan mengatur strategi memperkuat posisinya di antara lembaga tinggi negara. Banyaknya perubahan pada undang-undang MD3 (tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD), dinilai kian memperkuat posisi DPR sebagai fungsi legislatif. Namun demikian, rakyat tetap bisa mengontrol “tangan besi” kekuatan pembuat undang-undang itu, dengan mengajukan keberatannya kepada Mahkamah Konstitusi. Beda dengan Amerika Serikat, dimana Presiden mempunyai hak veto, yang dengan kekuatannya itu dapat membatalkan keputusan parlemen.

Nah, pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019, para calon legislator bakal bertarung dengan sistem baru. Melalui metode konversi suara dalam pemilihan umum Sainte League murni. Keterwakilan rakyat menempati kursi DPR, diatur melalui sistem Parlementary Threshold (PT), yakni  ambang  batas perolehan kursi di DPR, yang dinaikkan dari 3,5 % pada Pemilu sebelumnya, kali ini menjadi 4%. Rujukan perubahan PT, dapat dilihat pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Baca Juga :   Bocah SMP di Pandaan Tabrakan, Orang Tua Diminta Lebih Mawas

Besaran angka ambang batas ini, sepertinya berdampak pada perampingan jumlah partai politik, yang bisa menduduki kursi di DPR. Kita tahu pada tahun 2014, ada 2 Partai yang gagal mendapatkan kursi di DPR karena Parlementary Threshold, yakni PBB dan PKPI, walaupun kedua partai tersebut masih bisa menduduki kursi DPRD di beberapa daerah.

Pada Pemilu 2019 mendatang, terdapat 20 partai yang akan mengikuti pemilihan umum, terdiri dari 16 Partai nasional dan 4 partai lokal (Aceh). Dengan adanya sistem Sainte league yang akan diterapkan pada pemilu 2019 mendatang, rupanya menantang (bila tidak dibilang nekad) banyak partai kecil untuk mengikuti Pemilu, walaupun sistem Sainte League murni kerap dinilai lebih menguntungkan partai besar. Kendati demikian, partai kecil ini, masih merupakan gerusan dari pemilih partai besar tahun lalu. Dengan demikian, memungkinkan para calon legislator mencapai nilai lebih proporsional dalam pemilu 2019, meskipun partai besar, sepertinya juga akan tetap menguasai perolehan kursi.

Baca Juga :   Akhir Pekan, Begini Macet Horor Imbas Truk Terbakar di Lawang

Metode Sainte League ini mengurangi risiko sengketa, perebutan sisa suara seperti dalam metode bilangan pembagi yang diterapkan pada pemilu 2014 lalu.

Masyarakat sipil ‘kayak’ saya ini, tentu saja sedang menanti-nanti, proses pendewasaan berpolitik di NKRI ini, mampu menuju tatanan ideal yang mampu menjiwai segenap kepentingan bangsa dan negara.