Pesta Untuk Duka

1340

Uang THRIstri Ciprut uring-uringan karena belum jelas kapan ikut mempersiapkan pesta Idul Fitri seperti istri para tetangga. Maklumlah, penghasilan Ciprut yang tidak jelas itu membikinnya gusar. Ciprut juga nyambi membuka potong rambut, menulis artikel di koran lokal, kadang diundang mengisi seminar di warung-warung kopi, tapi kan profesi seperti itu tidak seperti profesi-profesi lain seperti anggota DPR, PNS, walikota atau tukang kayu. Profesi Ciprut menuntut ia dan keluarganya tawakkal bulat-bulat seperti bayi. Kalau tidak ada rejeki min khaitsu ya yahtasib bisa-bisa lebaran nanti keluarganya benar-benar tak bisa ikut berpesta.

Maka, ditengah kegalauan yang sebenarnya diprovokasi itu, Ciprut coba-coba menghibur istrinya. Barangkali ada efek sedikit-sedikit. Meski hapal betul bagaimana reaksi perempuan ketika didoktrin agar sabar, neriman dan tawakkal. Ciprut tetap mencoba. Barangkali hawa sejuk Ramadhan bisa sedikit mendinginkan kepala istrinya.

“ Ya sabar lah, dik. Selama ini kan kita selalu ikut merayakan Idul Fitri meski sangat sederhana” ujarnya seraya bersiap-siap menerima semprotan istrinya. Karena ternyata istrinya diam, Ciprut melanjutkan. “ Lebaran kan sebenarnya tidak harus kita rayakan. Malah seharusnya harus kita tangisi. Kita sesali”. Istrinya kaget mendengar ucapan Ciprut.

Baca Juga :   Awal Tahun, Harga Kebutuhan Pokok di Probolinggo Terkoreksi

“ Kita tangisi?” sergah istrinya.
“ Ya, karena Idul Fitri sebenarnya bencana amat besar bagi umat Kanjeng Nabi”.
“ Sampeyan mendem gadung ya?”
“ Ya nggak. Bukankah sampeyan juga pernah mendengar kalau lebaran itu malah seharusnya kita tangisi?”.
“ Mendengar dimana, dari mana?”
“ Lho, dulu di pesantren kan pernah mendengar jika Kanjeng Nabi pernah dawuh bahwa kepergian Ramadhan adalah bencana besar bagi umat beliau?”
“ Nggak. Sampeyan saja yang ngarang. Lebaran itu kan kemenangan, moment kembali suci?”.

“ Iya bagi yang puasa, tarawih, banyak baca Al Qur’an, banyak sedekah, banyak beristighfar, tidak berpuasa sambil rasan-rasan tetangga, tidak puasa sambil menernak uang, tidak puasa sambil marah, sumpah palsu, mendengar dan melakukan adu domba, melihat dengan syahwat dan kekenyangan ketika berbuka dan sebagainya. Lha, puasa kita kan masih puasa yang belum layak lolos quality control ?”.

Baca Juga :   Langka, Elpiji Melon di Probolinggo Tembus Rp 25 Ribu

“ Ah ribet. Lebaran ya lebaran Mas. Orang yang tak pernah puasa juga ikut merayakan lebaran, kok?”
“ Ya itu lebaran ghosob namanya. Tidak ikut ujian kok ikut merayakan kelulusan, kan ngampung namanya?”.
“ Ah, dak ngurus”.
“ Okelah, kita memang tak berhak menghukum orang yang tidak ikut puasa tapi ikut lebaran, tapi ya itu tadi, lebaran sebenarnya tak perlu dirayakan, malah perlu ditangisi”. Istrinya makin cemberut. Ciprut malah khawatir nanti malam bakal disapih.

Tapi, kapan lagi memberi doktrin agak keras sedikit buat mahluk yang sering meragukan “tanggungjawab” Tuhan sebagai problem solver itu. Ciprut memang sangat mencintai istrinya, dan bisa rumit kalau istrinya sampai ngambul, namun Tuhan harus dinomorsatukan. Apalagi ini bulan musim beribadah. Bulan dimana sikap relijius kembali digembar-gemborkan. Bulan dimana setiap orang tiba-tiba alim. Bulan orang-orang bersikap begitu dermawan seperti hendak nyaleg. Bulan lomba cepat sholat tarawih. Bulan lomba nyaring corong surau memperdengarkan tadarrus. Bulan orang kaya mencipratkan sedikit rejeki kepada orang kurang beruntung seakan itu sudah menggugurkan kewajiban zakat. Bulan belajar mengenakan kopyah. Bulan belajar mengenakan jilbab. Bulan seribu bulan. Bulan seribu fitnah!.

Baca Juga :   KPU Jatim Wanti-wanti Pemilu 2019 di Kabupaten Pasuruan Tak Seperti di Sampang

Dengan was-was Ciprut berkata “ Idul Fitri yang kita rayakan itu” katanya dengan ragu-ragu. “sebenarnya ditangisi oleh langit, bumi, para malaikat, para arwah di alam barzah bahkan mungkin juga oleh semua mahluk bernyawa”. Istrinya tetap mendengar, namun mulai tak acuh.