Kabupaten Probolinggo Rangking 3 Pernikahan Dini

3871

Probolinggo (wartabromo.com) – Kabupaten Probolinggo menduduki peringkat ketiga tertinggi di Jawa Timur pada tahun 2018 lalu. Tapi bukan prestasi bagus, melainkan angka pernikahan dini. Posisi itu setelah Kabupaten Sampang dan Sumenep, Pulau Madura.

Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kabupaten Probolinggo, tercatat ada 9.976 pernikahan pada 2018. Dari sembilan ribu perkawinan itu, ada 4.404 atau 44,15 persennya adalah pernikahan dini atau dibawah umur. Angka itu sebuah fakta yang sangat memperihatinkan dan tak dapat dipungkiri.

“Angka tersebut menempatkan kita sebagai daerah dengan jumlah pernikahan tertinggi nomor tiga se Jawa Timur setelah kabupaten Sampang dan Sumenep. Posisi itu tidak berubah dalam beberapa tahun terakhir,” ungkap Kepala Bidang Pengendalian Penduduk, Penyuluhan dan Penggerakan Herman Hidayat, Jumat (1/3/2019).

Baca Juga :   Banjir Sekarputih, Ular 4 Meter Ditemukan di Rumah Warga hingga Pusat Perbelanjaan hingga Rumah Makan Dibatasi Sampai Jam 8 Malam | Koran Online 12 Jan

Herman menjelaskan pernikahan dini yang banyak terjadi itu, mayoritas karena peranan orang tua yang mendorong anaknya untuk nikah muda. Keinginan orang tua tersebut, kata Herman, mau tidak mau harus dituruti oleh anaknya, sehingga pernikahan dini pun mudah terjadi.

“Istilah bekalan atau tunangan itu sudah sangat jamak terjadi di desa-desa. Untuk menghindari terjadinya perzinahan, maka oleh kedua orang tua menikahkan keduanya secara agama. Karena dalam istilah itu, mengijinkan kedua pasangan untuk serumah bahkan sebelum lulus sekolah,” tuturnya.

Model perkwainan yang semacam itu, menurut Herman justru memupus masa depan anak. Dimana mereka seharusnya mengecap pendidikan lebih tinggi pasca lulus dari sekolah. Bukannya lulus sekolah langsung menikah tanpa memiliki ketrampilan atau keahlian yang mendukung untuk membangun sebuah rumah tangga.

Baca Juga :   Miris ! Pinggiran Jembatan Hanya Dari Bambu

“Pernikahan ini berdasarkan klasifikasi jenis kelamin, banyak terjadi pada anak perempuan yang usianya di bawah 20 tahun. Jadi data yang kami sajikan itu hanya data untuk perempuannya saja tanpa melihat usia laki-lakinya,” tandas Herman. (cho/saw)