Guna-guna Tidak Berguna

1312

Akhirnya kuizinkan Sri telepon Ibuku. Dia juga telpon Ibunya supaya nginap di rumah kami selama saya dirawat ibu.

Tole tak suwuk tekan kene nduk. Marene ibuk tak mangkat runu (Heru saya obati dari sini nduk. Sebentar lagi ibu mau berangkat ke sana juga),” jawab ibuku dari telepon.

Setelah semua kumpul di gubuk sederhana kami, kondisiku belum juga membaik. Malah semakin parah. Pusingku sudah tak tertahankan. Badanku panas kayak di atas kompor. Semalaman aku susah tidur nyenyak. Bahkan aku, Heru yang pantang menangis kecuali ada masalah dengan keluargaku, akhirnya meneteskan air mata.

Sri sudah tidak karuan bentuknya. Nangis sambil merawat anak kami yang tiba-tiba rewel, susah tidur tiap malam. Aku kasian melihatnya. Aku tidak bisa apa-apa untuk menenangkan anak kami yang tantrum. Wong rasanya aku sudah melayang-layang.

“Nduk, tole tak bawa pulang ke desa ya. Tak rawat ibuk di sana. Biar Sri di sini saja sama genduk. Nanti kalau tole sudah enak, balik sini lagi,” pamit Ibuku pada Sri.

Baca Juga :   Kisah Cinta Shohibul Busthomi

Sri tidak berpikir panjang karena langsung mengiyakan tawaran ibu. “Yang penting mas Heru sembuh Buk. Sri manut (nurut),” jawabnya.

Perjalananku balik ke desa benar-benar penuh perjuangan. Ibu yang sudah renta terus mengusap punggungku supaya bertahan. Kami berangkat ba’da Magrib. Tidak menunggu keesokan harinya karena aku tidak kuat.

Sampai di rumah, bapak langsung menyambutku dengan pelukan. Ada pak dhe juga di sana.

“Tole ini kalau sakit itu bilang-bilang. Kita semua khawatir. Untungnya cepat telepon ke ibuk,” kata pak dheku saat itu.

Beliau langsung mengobatiku. Pak dheku bukan dokter. Hanya seseorang yang diberkahi kemampuan lebih untuk mengobati orang-orang sepertiku. Ya, setelah mengkonsumsi obat selama 3 hari dan hampir habis itu obatnya, ternyata tubuhku semakin ambruk. Sakitnya memang bukan karena medis.

Gobl*k. Mbok yo nduwe duit iku digawe mangan. Duduk ngirimi guno-guno ra guno ngene iki. Wong ngerti gawe mangan bae susah, kok ya asi bebel ae utek-e. (Bodoh. Kalau punya duit itu ya dibuat makan saja. Bukan mengirim guna-guna yang nggak berguna seperti ini. Orang tahu kalau untuk makan aja masih susah. Tapi kok bebal),” maki pak dheku.

Baca Juga :   Muslihat Musang Emas (2017): Nasib Sial Dalam 21 Fragmen

Malam itu juga, demam, pusing, batuk semua hilang dari diriku. Badanku rasanya plong, enteng dan bugar. Luar biasa. Secepat itu hilang semua penyakit ini.

Cah iki sing ngirim barang nggak genah, iri nang awakmu le. Polae awakmu cedek ambi wong-wong dukur. Kenal ora karo cah iki? (Orang yang ngirim kamu ini iri sama kamu. Soalnya kamu dekat sama pejabat. Kenal apa nggak sama orang ini?)” kata pak dheku sambil menyebutkan salah satu nama temanku.

Kenal pak dhe, tapi nggak cedek. Dekne yo biasa-biasa ae nang aku. Wong aku mbek dekne yo nggak cedhek. Mek nek ketemu yo nyopo. Tapi arek e yo apik nang aku pak dhe. (Kenal pak dhe, tapi nggak dekat. Dia juga biasa saja ke saya. Wong saya juga nggak kenal dekat. Kalau ketemu ya nyapa. Tapi dia juga baik kok ke saya), ” ujarku.

Baca Juga :   Sebuah Percakapan

Dia yang ‘mengirimiku’ memang benar tidak dekat denganku. Tapi kata pak dhe, dia takut posisinya terancam kalau aku mengadukan dia.

Lah aku nduwe opo pak dhe? Penggaweanku yo kacung ngene iki. Ape wadul yo gak ngerti dekne iku lapo. Mbekne opo wong ndukur ape ngerungokne kacung koyok aku ta? (Lah saya punya apa pak dhe? Pekerjaanku juga pesuruh. Mau lapor ya nggak paham dia ngapain. Emang pejabat mau dengerin suara pesuruh kayak saya?)” sanggahku.

Yo ngunu iku menungso le. Wedi karepe dewe. Pikirane pendek dan pengene opo-opo cepet. Padahal dikei utek ndek gusti Allah cek iso mikir apik. Nek wedi diwadulne yo kerjone sing apik. Ngunu iku lak ketero ra bener kerjone. Podo-podo dadi kacung mbok yo ojok roco.