Masalah Pernikahan

1522

Menurut sahabatnya, mengapa memilih gunung sebagai tempat yang tepat untuk melamar, “Agar kalau kemungkinan buruk terjadi, katakanlah lamaranmu ditolak, kau tinggal pulang saja pacarmu.”

Dan saran itu memang berhasil. Mereka menikah di tahun berikutnya dan membuat kesepakatan, bahwa kelak apapun yang terjadi, mereka tak ingin punya keturunan biologis. Jika ingin anak, lebih baik mengadopsi.

“Bumi makin rusak dan banyak anak-anak yang masih kelaparan. Manusia seharusnya tidak menambah populasi lagi,” kata istrinya.
“Iklan keluarga ideal memang keparat,” sahutnya. ke halaman 2

 

Foto diolah dari PicsArt

Setelah menikah, ia diterima kerja di perusahaan pupuk dari Korea. Pekerjaannya di pabrik antara lain: mengecek target produksi per hari dan menata karung-karung di rak raksasa menggunakan forklift; mengetik laporan keluar masuk barang. Serta, kadang-kadang mengguyur kepala kulinya dengan soda.

Beruntung lahir dari trah kepala cemerlang, karirnya di perusahaan cepat naik. Istrinya sendiri bekerja di rumah: membuka lapak online berjualan jilbab, gamis, sepatu, obat hamil, peninggi badan, kandang burung, dan apapun yang menurutnya bisa dijual di forum jual beli. Dan setelah tiga tahun mengontrak rumah, sementara karirnya terus menanjak, mereka akhirnya bisa patungan membeli rumah dua lantai di dekat rumah mamanya.

Baca Juga :   Absurdnya Aturan di Negeri Ini Bikin Geleng-Geleng Kepala

Di rumah itulah semuanya bermula. Tiga tahun menikah dan belum ada tanda-tanda ia berhasil meluncurkan peluru ke sel telur istrinya, merupakan masalah bagi mamanya. Sebenarnya sejak beberapa bulan setelah menikah, dan berkali-kali setelah itu, istrinya sering memintanya agar ia segera menyampaikan kepada mama soal rencana mereka tak mau punya anak. Namun ia selalu menunda-nunda.

“Aku tak tega melihat mama sedih,” ucapnya.
“Semua anak tidak ada yang tega melihat mamanya sedih. Semua orang tua juga akan sedih jika anaknya tak memberinya cucu. Tapi kau ingat kan saat mencium keningku di depan penghulu, dan aku berbisik pelan: ‘apapun yang terjadi?’, kau mengangguk. Lalu kau pun bertanya balik ‘apapun yang terjadi?’, aku mengangguk juga. Kita punya prinsip, apapun yang terjadi.”

Baca Juga :   Kapan Sebaiknya Menyiapkan Dana Pendidikan Anak?

“Iya, Lis. Aku pasti menyampaikan pada mama. Tapi tidak sekarang. Aku masih punya banyak alasan kok andaikata sewaktu-waktu mama menanyakan cucu.”
“Kapan?”
“Begini, kalau anak ketiga Mbak Mira sudah lahir, mungkin setelah itu mama akan merasa sudah cukup cucu.”
Menunda-nunda konon merupakan perilaku kurang terpuji, juga berpotensi memperburuk keadaan.

Suatu hari, berkat kedekatannya dengan manajer, ia lolos beasiswa kuliah di Korea selama dua tahun. Kabar ini disambut bahagia oleh istri serta mamanya, meski akhirnya malah memperuwet keadaan.

Selama di luar negeri, ia minta mamanya menemani istrinya. Mamanya seorang yang taat agama dan sering menonton ceramah ajakan berhijrah dan terlampau peduli pada mulut tetangga. Seringkali mamanya memindahkan tempat pengajian ibu-ibu di rumah itu. Dan setiap kali ada sekumpulan ibu-ibu itulah, istrinya merasa risih.

Baca Juga :   Pelajar Filipina dan Malaysia Berguru Program KB ke Ponpes Al-Yasini

“Lho ternyata sampean belum hamil to, Mbak? Bilang masnya jangan terlalu keras cari uang.”
“Kalian ini perlu liburan, Dik. Suamimu suruh ambil cuti dua atau tiga hari saja. Pergi ke Bali atau ke mana gitu. Saya dulu pakai cara itu berhasil lho.”
“Lihat itu mertuamu ingin nambah cucu. Dia belum punya cucu perempuan.”

Usai acara pengajian itu, istrinya akan meringkuk di kamar sambil terus menyesali suaminya. Seandainya sejak dulu ia mengatakan kepada mamanya, tentu tidak ada nasihat-nasihat sampah seperti itu. Bahkan pada hari-hari tertentu yang dianggap mujarab untuk berdoa, si mertua mengundang gengnya untuk berdoa bersama agar menantunya dihadiahi anak oleh Tuhan.