Yang Tersisa dari Banjir Bandang Kepulungan

6922

Gunawan mengakui, dalam beberapa kajian, didapati terjadi penurunan di sekitar lumpur Lapindo. Termasuk di Gempol. Tetapi, karena posisi Kepulungan yang lebih tinggi dari lapindo, tetap saja air dari Kepulungan yang mengalir ke Gempol atau Porong.

“Jadi saya kira itu tidak relevan. Karena lapindo itu dimana, Kepulungan itu dimana. Kalau itu tidak bersinggungan, ya tidak masuk akal,” lanjutnya.

Gunawan lebih memilih perubahan bentang alam menjadi salah satu penyebab banjir, selain faktor cuaca. Sebab, perubahan itu yang pada akhirnya menjadikan alam dan lingkungan kehilangan daya dukung.

Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kelas II saat banjir bandang terjadi, curah hujan yang turun cenderung variatif.

Area pertambangan di lereng Gunung Penanggungan dipotret dari udara. Dulunya lahan tersebut merupakan kawasan hutan. Foto: dokumen WartaBromo.

Di beberapa titik yang terhubung dengan DAS Kepulungan, curah hujan cukup tinggi. Misalnya di Bareng, kaki Gunung Penanggungan yang mencapai 86 mm. Sementara di daerah lain cenderung rendah.

Baca Juga :   Merawat Mimpi, Merajut Asa Anak-anak yang Tak Punya Pilihan

Kendati begitu, menurut Gunawan, tingginya curah hujan bukan menjadi faktor utama. Ia menyebut, tutupan lahan yang padat diyakini dapat meminimalisir dampak daripada cuaca buruk. Seperti banjir dan tanah longsor.

“Begitu juga sebaliknya. Bencana yang terjadi akhir-akhir ini lebih banyak karena lingkungan yang ada sudah tidak memiliki daya dukung untuk menekan potensi terjadinya bencana itu,” jelasnya.

Gunawan kemudian menjelaskan, banjir terjadi tatkala terjadi penumpukan jumlah air dalam waktu tempo cepat. Akibatnya, badan-badan sungai tak lagi mampu menampung debit air yang masuk.

Nah, dari sinilah kerangka berpikir dalam upaya mencegah dan menangani banjir harus dimulai. Dulu, lanjut Gunawan, banjir lebih jarang terjadi karena tegakan hutan di daerah hulu masih rapat. Dengan demikian, hujan yang turun tertahan oleh dedaunan dan juga ranting-ranting pohon. Setelah itu, baru meresap ke dalam ranah dan kembali ditahan oleh akar.

Baca Juga :   Pasar Online: Siasat Pasar Tradisional Bantu Pedagang Bangkit dari Pandemi

Persoalannya, banyak kawasan di daerah tangkapan air yang telah beralih fungsi. Baik untuk permukiman maupun kegiatan industri. Salah satunya pertambangan. Alhasil, wilayah yang harusnya berperan menangkap air dan meresapkannya, tak lagi berfungsi.

Gunawan mengatakan, ada tiga hal yang terjadi ketika hujan turun. Menguap, meresap, dan melimpas.

“Cuma karena hujan, penguapan terjadi tak sampai 10 persen. Lalu berapa persen yang meresap? Tergantung kontur tanahnya. Kalau tanahnya sudah tidak ada, tinggal bebatuan, maka bisa dipastikan air lebih banyak melimpas ke bawah,” jelas Gunawan.

Dampak dari ‘air kiriman’ itu akan semakin parah tatkala kondisi sungai tak lagi mendukung. Misalnya, karena terjadi penyempitan, bangunan liar, atau bahkan kontruksi jembatan yang salah.

Baca Juga :   Bencana Beruntun, Ini Peta Rawan Bencana di Kabupaten Pasuruan

Sebab, pada akhirnya, beberapa faktor itu akan menganggu laju air. “Sungai itu kan jalannya air. Kalau kemudian jalannya terganggu, terjadi penyempitan, ya air akan mencari jalan sendiri, meluap dan banjir itu,” terang Gunawan.

Di sisi lain, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim, Rere Cristanto mengatakan, banjir yang kerap melanda wilayah Pasuruan tak lepas dari rusaknya bentang alam di kawasan hulu.

“Sungai-sungai di Pasuruan, berikut anak sungainya itu kan rata-rata berhulu di pegunungan. Seperti Penanggungan, Arjuno hingga Bromo. Kalau kondisi di atas rusak, ya otomatis fungsi hidrologinya juga berkurang,” terang Rere.

Hal itu pula yang menjadikan wilayah barat Pasuruan, banyak dihajar banjir belakangan ini. Termasuk, banjir bandang Kepulungan yang mengakibatkan dua nyawa melayang, Rabu (3/2/2021) lalu.